06 - Back to Hell

18.9K 2.4K 49
                                    

"Menurut kamu, tantangan terbesar syuting film ini apa?"

"Banyak, sih. Ini pertama kalinya gue main film aksi klasik kayak gini," tuturku. "Karakter yang gue mainin itu pemanah, jago bela diri, jago naik kuda. Jadi, sebelum syuting mulai, selama tiga bulan gue latihan tiga hal tadi. Bareng sama pemain lainnya. Seminggu latihan memanah bikin tangan gue pegal banget, sampai panggil tukang pijet. Kalau untuk proses syutingnya, tantangannya lebih ke adaptasi sama tempat dan kostum yang dipakai. Setting waktunya kan abad ke delapan belas, ya ... tempatnya di hutan yang memang hutan asli, cuma ditambahi properti-properti pendukung aja. Terus, ada baju yang menjuntai-juntai jadi bikin susah gerak."

"Ada nggak adegan paling susah dan paling lama ambilnya apa?"

Aku dan Zacky langsung mengangguk dan tertawa bersama. "Adegan waktu berantem di sungai. Itu susah banget, sih. Baju gue jadi berat. Ada ular tiba-tiba muncul, bikin panik kru juga."

"Setuju. Syutingnya emang berat. Dan kita harus sesuaiin sama kondisi sungainya. Beberapa kali itu tiba-tiba hujan padahal kan musim kemarau, ya ... dan arusnya jadi kenceng, ya kita tunda gitu," imbuh Zacky, lawan mainku di film The Last Descendant of Dragon. "Yang bikin syuting film ini menantang itu kondisi alamnya."

"Actually, gue udah sempat mikir kalau adegan yang di sungai kita pakai CGI, kita take di kolam renang aja, atau cari sungai yang lebih kecil. Tapi, Mas Zumi bilang, kalau hasilnya bakal beda. Jadi, kita tunggu keadaan sungainya normal," terang Clarine, sang sutradara.

"Syuting dan persiapan para aktornya ini maksimal banget, ya ... harapan terbesar untuk film ini itu apa? Clarine deh yang jawab, sebagai sutradara," kata sang pembawa acara.

"Harapannya sih, pasti biar film ini bisa dinikmati banyak orang. Gue pengin kasih warna gitu di dunia perfilm-an Indonesia. Dengan kualitas aktor dan aktris yang bagus, latihan keras yang mereka lakukan demi film ini, gue harap sih, semangat kita menggarap film ini tersalur ke mereka."

Setelah acara wawancara selesai, aku, Clarine, dan aktor lainnya berdiri untuk melakukan sesi foto. Salah satu hal mendebarkan selama jadi aktris itu, nonton film sendiri untuk pertama kali. Jadi, aku memang selalu excited kalau datang ke acara premier film gini. Dari sudut mataku, aku melihat Kava dan Naren sedang di wawancarai wartawan. Tentu, Naren nggak akan melewatkan filmku. Dengan adanya Kava, itu sangat memudahkan Naren datang ke acara premier filmku tanpa dicurigai.

"Kok Rezky nggak dateng, sih?" bisikku pada Clarine.

"Lo nggak baca di grup? Dia ada acara ke Surabaya."

Hari ini berjalan sempurna. Terlalu sempurna malah. Aku bisa ketemu dengan banyak teman yang datang ke acara premier filmku, penggemar juga. Apalagi banyak yang kasih review positif setelah nonton. Imajinasi Clarine emang nggak perlu diragukan lagi sih. Mereka juga kagum sama aktingku dan Zacky di sana. It's perfect.

"Kenapa senyum-senyum sendiri?" Naren bergabung denganku di tempat tidur.

"Masih lihatin foto-foto tadi," jawabku lalu bersandar padanya. "Gimana tadi filmnya? Bagus?"

Dia mengangguk. "Tadi, ada wartawan tanya ke Kava, dia cemburu nggak kalau lihat kamu dekat sama aktor-aktor lain. Pacarmu siapa, yang ditanyain siapa."

Aku terkekeh. "Wartawannya kan nggak tahu, Ren."

"Iya, tapi aku nggak suka." Dia mengangkat daguku dengan telunjuknya, membuatku mendongak. "Cantik banget kamu malam ini."

"Aku cantik tiap hari tahu."

Dia menggumam sambil tersenyum lalu menunduk dan mengecup bibirku. "Film kamu yang ini aku nggak suka. Syuting tiga bulan di Nusa Tenggara nggak balik-balik. Terus, waktu pulang kamu ternyata cidera. Pas udah sembuh, kamu mulai sibuk keliling kota buat promosi. Clarine emang kurang ajar ini."

Blooming Once Again (END)Where stories live. Discover now