04 - Never Ending Nightmare

18.9K 2.6K 68
                                    

"Dasar pelacur!"

"Lo dapet job sebanyak ini, karena jual diri, 'kan?!"

"Dasar nggak tahu malu! Modal badan sama goyang tiap malem aja bangga!"

"Banyak aktris lain yang pantes dapet piala itu! Lo pasti kasih service, biar menang, ya?"

"Jijik banget sumpah! Kalau bapaknya gitu, nggak mungkin anaknya nggak tahu!"

"Sok suci banget lo. Bangun panti asuhan, ikut lelang amal, eh ternyata busuk!"

"Pasti pemakai juga, nih. Orang bapaknya begitu."

Napasku tersengal-sengal menatap satu per satu orang-orang yang mengerubungiku dari balik dinding kaca. Terlihat wajah penuh amarah, jijik, dan merendahkan. Aku menggedor-gedor dinding kaca yang mengurungku. Tidak ada pintu, tidak ada jendela, tidak ada jalan keluar. Aku berteriak meminta tolong, tapi suaraku saja bahkan tidak terdengar di telingaku sendiri.

"Berhenti, please .... " Aku menutup telingaku, karena tak tahan mendengar cacian yang tertuju padaku itu. "Berhenti!"

Sekeras apapun aku meminta, mereka tidak berhenti. Suara mereka malah semakin keras, berdengung di telinga. Aku terduduk di tengah ruangan menjadi tontonan, seperti hewan di kebun binatang. Aku menelungkupkan kepala di antara lutut dan menangis.

"Berhenti! Please ... berhenti!" mohonku, "aku capek!"

Aku terbangun dengan napas tersengal, dadaku naik turun, bajuku basah penuh keringat. Aku bersandar di headboard dan menyeka keringat di kening. Mimpi itu datang lagi setelah sekian lama. Mungkin, ini efek karena bertemu Naren kemarin. Aku jadi bertambah gugup dan tertekan.

Selama ini, aku selalu berusaha lari dari kenangan pilu empat tahun silam. Tapi, aku sedikit demi sedikit mulai menerima, mau sekencang apapun aku lari, itu akan jadi bagian hidupku.

Aku beranjak dari tempat tidur menuju dapur. Mengambil segelas air dingin, duduk sendirian di pantri, sambil menatap pemandangan Jakarta di malam hari lewat jendela. Dulu, aku tidak bisa tidur hampir satu tahun. Tiap malam, aku pasti ke dapur. Ya cuma gini, minum sambil bengong. Kalau Benita ikut-ikutan bangun, dia bakal ganggu waktu merenungku dengan ajak aku makan. Super late dinner. Makanya, walaupun sering begadang, berat badanku malah bertambah.

Kemarahan Naren kemarin berputar kembali di ingatan. Ini nggak akan mudah. Pasti, secara sengaja mau pun nggak, aku bakal bertemu Naren lagi. Harusnya aku berani jujur sama dia. Tapi, buat apa? Naren tidak akan jadi milikku lagi. Aku tidak mau merusak hubungannya dengan Krystal.

Kenapa hidupku jadi semenyedihkan ini, sih? Gimana caranya aku move on kalau begini? Aku menghela napas entah untuk yang ke berapa kali. Tapi, tiba-tiba sekelibat pikiran konyol terbesit di otakku. Kalau memang dia sudah move on dariku, kenapa masih semarah itu? Toh, Naren juga sudah punya kekasih baru. Jangan-jangan Naren ... aku segera menggelengkan kepala. Jangan ngarep, Ra ... nanti kamu yang sakit sendiri.

Pertarungan baru dimulai. Tapi, kenapa aku sudah kelelahan setengah mati?

***

Aku mencengkeram kemudi erat-erat. Pandanganku terpaku pada gedung yang berdiri gagah di depanku. Bangunan megah dengan desain apik itu, malah lebih mirip penjara di mataku. Tulisan Pradyanto Revolution Entertainment tercetak jelas, di tengah bangunan.

"Buruan jalan, Ra .... " dumal Benita yang baru selesai memakai maskara. "Gue udah selesai touch up, nih."

"Balik aja, yuk ... perut gue mendadak mules." Aku meringis.

Blooming Once Again (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang