CHAPTER 9

2.8K 170 2
                                    

War day 7
08.00

Kapten Heri

Fajar telah menyinsing, kami mulai bersiap meninggalkan rumah yang kami pakai beristirahat dari semalam. Rumah panggung sederhana dengan bahan utama dari kayu.

Setelah selesai persiapan kami segera pergi, perkampung ini terlihat sudah sepi dan tak terurus dengan listrik yang sudah tidak menyala lagi.

Setelah lama berjalan kami telah sampai disebuah jembatan tempat kami menaruh mobil humvee kami, jembatan itu kini telah runtuh, sekarang kami tau kenapa panser itu tak pernah sampai kesini.

Terlihat diujung jembatan ada sebuah tank yang bersembunyi, kami lihat tank itu berbendera Malaysia. Aku menyuruh Serda Anwar untuk mengabari markas tentang keberadaan tank tersebut lalu terdengar suara ledakan besar. Tank itu tidak sendiri, ada satu tank lagi yg bersembunyi di rimbunya pohon sebelah kiri kami, tank tersebut pun menembak, beberapa pasukan kami terlempar terkena tekanan udara dari ledakan tersebut, tubuhku pun terpental, kabur sudah pandanganku tak lama aku mulai hilang kesadaran.

Sertu Adrian

Setelah matahari mulai bersinar kembali, kami meneruskan perjalan menuju kamp kami.

Perjalan kami tak berjalan mulus, kami menemukan jembatan yg membelah derasnya arus sungai itu sudah runtuh, dan tampa disangka terdapat 2 buah tank yg telah menunggu kedatangan kami.

Masuk perangkap, itu yang kami rasakan, semua buyar saat salah satu tank tersebut menembakan pelurunya kearah pasukan kami. Kami terpental dan tak sadarkan diri.

.........

Kesadaranku sekarang mulai pulih, masih teringat akan adanya tank Malaysia, aku masih tergeletak ditanah berpura pura mati sembari melihat keadaan sekitar kami, aku melihat kepulan asap hitam membumbung tinggi diangkasa. Tank tersebut sudah hancur, tak lama aku mendengar suara pesawat tempur lewat diatas kami, mungkin itulah penyebab tank ini hancur.

Kucoba untuk mulai berdiri, kakiku terasa sangat sakit. Sebuah lempengan besi yang berasal dari hancurnya senjata menancap dalam dipahaku. Nyeri rasanya melihatnya, dengan sisa sisa tenaga yang ada kutarik lempengan besi itu.

Setah berkutat dengan rasa nyeri dan tenaga yang sudah hampir habis, akhirnya aku berhasil menarik lempengan besi tersebut. Kucoba untuk menemukan rekanku yg masih selamat, pemandangan disini sangan mengerikan, badan yg terbakar, atau potongan potongan tubuh manusia kulihat berserakan dimana mana. Kapten Heri pun tak selamat, yang dapat kutemukan hanya badanya tampa ada kedua kakinya lagi.

Kapten Heri, dia adalah satu satunya keluarga yang aku miliki sekarang. Dia adalah abangku, dia pulalah yang memberiku semangat untuk dapat mengikuti test calon bintara TNI AD, dia pula yg selalu menemaniku selama perang ini. Karna iya juga aku dapat bergabung dalam pasukan yang iya pimpin.

Sedih, sakit, kesal, marah bercampur aduk jadi satu. Semangatnya dalam membela tanah air selalu bergema dalam pikiranku. Sempat terfikir olehku untuk menyusulnya kesana, tapi aku teringat aku masih punya istri dan calon anak pertamaku yang menantiku pulang kerumah.

Tak kurasa darah terus mengalir dari luka bekas tancapan besi tadi, dengan segera kuikat luka itu agar tidak berdarah. Satu persatu kuambil kalung pengenal rekan dan abangku. Kulecuti semua senjata dan peluru yg ada sebelum aku beranjak pergi.

Aku berjalan mengikuti arus sungai, berharap dapat menemukan tempat untuk aku bisa menyebranginya, tubuhku sangat lelah setelah apa yang terjadi pada hari ini. Dan aku putuskan untuk tidur diatas pohon agar aku tak ketahuan pasukan Malaysia yg mungkin sedang berpatroli.

MEDAN TUGASWhere stories live. Discover now