Prolog

97 8 3
                                    

Untuk sahabat terbaikku, Wafi.

Masihkah ada kesempatan bagiku untuk berterimakasih padamu, Waf?
Mengucapkan maaf, ataupun mengulangnya yang seakan semua ini tidak akan pernah terjadi.

Aku tahu dan aku ikut merasakan setelahnya.
Tubuh rapuh, derai air mata terus-menerus mengalir tanpa henti, merapuhkannya.

Tawa dan cerita kita lalui bersama. Sungguh, aku menyukai tiap detik bersamamu. Mening--

Trap!

Ah kampret ditutup lagi. Geram Ihsan. Membatin di dalam hati. Ihsan Praditya, salah satu sahabat karibnya di sekolah.

Suara desahan panjang dirasakannya hingga membulatkan niat untuk segera membalikkan tubuhnya. Karena merasa terganggu, akhirnya ia pun melakukannya.

Ihsan? Waduh salah juga nih gue baca di sini.

Wafi memutar balikkan tubuhnya kembali ke posisi awal. Sambil memasang wajah datarnya.

"Hei, man. Ada apa nih?" sambut Ihsan seraya menepuk pundak sebelah kanan Wafi lalu duduk di sampingnya. Kemudian menoleh dengan satu alis terangkat dan terlihat ada senyum menjengkelkan di wajahnya.

Mampus. Batin Wafi.

Kantin memang menjadi salah satu tempat favoritnya di sekolah, meskipun banyak siswa-siswi yang hilir mudik melewati celahan sempit di antara beberapa meja yang tertata rapi. Ia berdiam di sini hanya untuk menyendiri ataupun bersenda gurau bersama ketiga sahabat karibnya di SMA Barden High.

"Mana yang lain, San?"

"Arya, Ardo?"

Wafi hanya diam mengangguk. Menjawab pertanyaan terakhir itu.

"Oh. Gue nggak tau. Tadi nggak ba--"

"WAFI! Lo harus tau ini, sumpah." potong suara Defardo dengan lantangnya. Sontak, mereka langsung memutar tubuhnya ke arah belakang hingga mendapati keberadaan Ardo dan Arya. Dan terlihat Arya hanya menguntitnya dari belakang.

Dengan napas tersengal-sengalnya, Ardo langsung duduk di antara Wafi dan Ihsan. Dan uniknya, Arya ikut duduk persis di sebelah kanannya.

Hening. Ya, hening sejenak. Sambil mengatur cepatnya kinerja napas Ardo yang tidak beraturan. Dan tak lama setelahnya, dengan sergap ia meraih handphone hitam miliknya di dalam saku celana abu-abu yang sedang dipakai di kaki jenjangnya itu.

"Kayaknya penting," ucap Wafi dengan rasa ingin tahunya.

"Ah mupeng." sahut Ardo asal seraya membuka layar kunci ponselnya tersebut.

"Lo tau anjing nggak?" ucap Wafi lagi kesal.

"Anjir! Panas!" pekik Wafi. Seperempat tumpahan kuah bakso panas mendarat tepat di tangan kanan Wafi yang kini sudah mulai berwarna merah terang.

Lantas, semua pandangan mereka yang berada di area kantin dialihkan ke arah tempat Wafi duduk, dan seorang perempuan cantik berkacamata sedang berdiri tepat di sebelah kirinya dengan saling menatap. Dia adalah Dyandra Dara. Salah seorang siswi kelas 10.

"Kalo jalan liat-liat kek,"

"Panas nih,"

"Liat lo nanti."

"Luka bakar tuh, luka bakar!" seru Ihsan dengan tertawanya yang lepas. Memang menyebalkan.

Sumpah ya gue lebay. Batin Wafi.

Dyandra hingga saat ini masih terpaku di tempat. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Teman jalan bersamanya tadi tidak mengetahui hal ini, karena Rara berjalan lebih cepat dibanding Dara. Dan tak lama, kesalnya semakin meningkat ketika menyadari bahwa jaraknya dengan Rara saat berjalan beriringan itu tidak terlalu jauh, hanya tiga langkahan kaki saja jika diperkirakan.

Rara gimana sih ya ampun. Dara mendecak sebal di dalam hati.

Sejak awal, mereka memang sudah bersepakat untuk menghabiskan waktu istirahat di taman belajar setiap harinya. Dengan membawa makanan kantin atau bekal dari rumahnya.

"Ma--maaf kak, nggak sengaja. Lantainya agak sedikit licin dan jarak antar mejanya juga sempit." jawab Dara pelan. Dara amat sangat canggung di tempat. Sendirian.

"Siapa nama lo?"

"Dara."

Ini kapan gue ngasih taunya. Rutuk Ardo di dalam hati. Sudah tidak sabar.

••••

A.N

Ya ampun gue nerbitin cerita di Wattpad.
*
*
Dan kalo udah baca, vomments-nya jangan lupa ya, kawan!
^^

Falling Out of LoveWhere stories live. Discover now