(5) Tumpangan Gratis

Mulai dari awal
                                    

"Hm, gitu ... jadi selama tiga hari aku dapat tumpangan gratis nih, heheh," goda Hani.

"Haha kamu tuh bisa aja." Akhirnya ia masih dapat tertawa. "Oh, iya gimana masalah kamu sama pak Hafiz. Kamu sudah minta maaf sama dia?" tanyanya penasaran.

Waduh, mendengarnya saja sudah membuat malas. "Gimana ya nanti deh aku usahakan," jawabnya sambil menimbang-nimbang antara iya dan tidak. Gimanalah dia telah terlanjur malu pada manusia bar-bar itu. What, mungkin saat ini sebutan pria bar-bar lebih cocok untuknya karena perilakunya yang sengak, ia membantin.

Suasana mendung di luar. Mungkin akan lebih cocok jika ditemani secangkir teh.
Kemudian Hani ke belakang ingin membuat teh. Sesampainya di sana ia menemukan gerak-gerik seorang OB yang sedang mengaduk-ngaduk secangkir teh.

"Mas ini tehnya buat siapa?" tanyanya asal.

"Oh ini buat pak Hafiz, Mbak," jawab OB tersebut. Setelah mendengar pernyataan tersebut otaknya mendadak cas. Sepertinya ia harus memanfaatkan kesempatan.

"Mas boleh tidak kalau saya saja yang antar?" tawarnya pada sang OB.

"Enggak usah mbak ini sudah menjadi tugas saya," jelasnya. Saat ini otak Hani sudah disetting ulang untuk segera minta maaf. Bahkan segala cara harus ia usahakan. Ia jadi teringat kasus pembunuhan yang dibicarakan Sarah. Nggak, pokoknya jangan sampai terjadi, ia membantin lalu menggelengkan kepala.

"Boleh ya Mas, Sekalian saya ada urusan sebentar dengan pak Hafiz," ucapnya dengan wajah memelas.

"Baiklah kalau mbak memaksa."

Lalu diantarnya ke ruangan Hafiz. Sesampainya di depan pintu Hani berungkali menghela napas. "Aduh gimana nih aku gak berani. Enggak, pokoknya aku harus bisa," gumamnya sambil menggelengkan kepalanya.

Suara ketukan pintu tidak dapat menghentikan aktivitasnya. Ia tahu pasti teh pesanannya telah datang.

"Masuk!" seru Hafiz. Ia masih memandangi laptopnya.

Busyet, jalan pun mendadak gemetaran. Air yang ada di dalam gelas bergoyang. "Pak!" sahut Hani.

"Ada apa?" Kemudian didongakkan pandangannya ke arah sumber suara. "Kamu, sudah ganti jadi office girl?" tanyanya dengan tatapan intimidasi.

"Anu, bukan begitu Pak saya kemari hanya ingin meminta maaf atas kejadian kemarin, tapi saya jangan dipecat ya pak," jawabnya gugup. Karena saat ini jantung mulai abnormal karena takut sesuatu yang tak diharapkan terjadi.

"Hm, emangnya alasan apa saya memecatmu?" tanyanya seolah tak tahu. Ia menyedekapkan tangan.

"Yang kemarin itu Pak," jawabnya mengingatkan.

"Itukan tidak ada hubungannnya sama kerjaan," sanggahnya. Karena menurutnya, ia harus profesional dan harus membedakan masalah pribadi dengan pekerjaan.

Straight number one. Akhirnya, ia bisa lega bernapas. "Aduh iya pula ya. Kalau begitu terima kasih ya Pak saya permisi dulu."

"Iya, Cepat sana kerja!" pinta Hafiz.

"Baik Pak!" Kemudian Hani segera keluar. Tumben pria itu mendadak baik, batinnya.

*
Ruangan kerja tampak sibuk di bagian masing-masing. Ada bagian pembuatan layout, printing, editing, scanning dan lain-lain.

"Sar artikel tentang menjaga kelestarian lingkungan sudah dimasukkan daftar terbit majalah belum?" tanya Hani memastikan pekerjaannya.

"Tunggu ya kucek dulu. Emang kenapa Han?" tanyanya penasaran.

"Dari beberapa artikel yang kubaca itu bagus isinya Sar. Lagian sebentar lagi kita hari lingkungan hidup sedunia."

"Hhm, kamu enggak buat artikel?"

"Nantilah kalau semuanya sudah selesai kubaca baru deh kubuat. Heheh," jawab Hani sambil menyengir kuda. Lagian menurutnya pembuatan artikel membutuhkan kemampuan menganalisis. Apalagi stok orang yang mengirimkan artikel juga masih banyak. Kan kasihan karya mereka kalau tidak dimuat.

"Yaelah, Oh sudah kok Han. Tinggal dicetak aja nih," ucapnya memastikan.

"Sip dah tinggal kulanjutkan."

*
Sesuai dengan kesepakatan,  mereka berdua akan pulang bersama. Hal yang paling menyenangkan adalah memiliki teman berbicara. Jadi, kalau misalnya ada apa-apa seperti ngantuk dadakan bisa bertukar posisi.

"Sar, Minggu ini kita jalan jalan yok?" saran Hani.

"Ke mana?"

"Ke toko buku habis itu kita ke Palladium nonton bareng," jelas Hani.

"Dengan senang hati saya menerima tawaranmu."

Tiba-tiba suara motor mendadak macet perlahan. Sebelum akhirnya mati ia segera menepi. Tepat sekali dugaannya. Mati.

"Kenapa Sar kok berhenti?" tanyanya keheranan.

"Enggak tahu nih Han, kayaknya mogok," adu Sarah.

Mereka berdua turun dari sepeda motor tersebut.

"Coba dicek nanti bensinnya habis," sarannya.

Sarah melirik kilometernya menunjukkan angka aman. "Masih banyak kok Han. Malah nggak ada bengkel di sekitar sini." Kini mereka berdua kebingungan tak karuan. Suasana hampir menjelang maghrib. Senja keemasan sedang beranjak turun dari atas. Rasa was-was sedang menyelimuti keduanya.

Satyo yang melihat mereka pun berhenti. "Kenapa Sar sepeda motormu?" tanyanya penasaran.

"Gak tahu nih Pak, tiba-tiba mogok."

"Boleh saya lihat," izinnya.

"Oh, boleh pak."

Berbagai macam upaya sudah dilakukan Satyo, mulai dari menyetater hingga mengengkol berulang-ulang. Namun, tampaknya usaha ini tidak berhasil. "Sepertinya harus dibongkar nih. Tapi saya lupa bawa peralatannya pula tuh," ucap Satyo.

Hafiz yang kebetulan lewat pun melihat mereka. "Tunggu dulu itu bukannya wanita itu," terkanya asal. Namun setelah diperhatikan, mereka sedang berusaha menghidupkan sepeda motor. Awalnya ia ingin mengabaikan wanita itu. Tapi  kembali lagi kepada diri, bahwa ia masih memiliki hati nurani. Kemudian dipinggirkan mobilnya dan berhenti. "Kenapa kalian berhenti disini?"

"Sepeda motor teman saya mogok pak," jelas Hani.

"Sini saya cek, sebentar ya." Seketika Hafiz mengenali seorang pria yang ada di samping mereka. "Kamu Satyo kan?" tanya Hafiz.

"Iya pak. Tapi bapak kok bisa tahu?"

"Kamu kan manajer percetakan, saya harus tahu kan. Bisa bantu mengambil peralatan?"

"Bisa pak," jawabnya dengan sigap.

Lalu mereka mengambil peralatan yang berada di bagasi mobil. Butuh waktu dua puluh menit untuk memperbaiki sepeda motor Sarah. "Ini motornya masuk angin. Pasti jarang dipanasin kan?"

"Iya pak," jawab Sarah dengan jujur. Jujur karena Sarah hanya memperlakukan sepeda motornya sebagai sarana perjalanan saja tanpa memperhatikan bahwa sepeda motor juga perlu dirawat. Kalau begini, akhirnya dia juga yang sengsara.

Lalu Hani melihat wajah Hafiz berlepotan noda hitam. Ia menyodorkan sebuah sapu tangan padanya. "Pak, ini. Wajah bapak dipenuhi noda hitam."

"Oh iya. Makasih ya," jawab Hafiz

"Seharusnya kami yang berterima kasih karena Bapak telah membantu kami. Terima kasih ya pak Hafiz dan pak Satyo," jawab Sarah.

Bersambung!

Love In MagazineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang