19 Januari 2008

4.1K 590 116
                                    

Pressure pushing down on me
Pressing down on you, no man ask for
Under pressure that burns a building down
Splits a family in two
Puts people on streets

(Queen - Under Pressure)

***

Satu hal yang aku tahu tentang pertemanan: aku tidak mengerti cara memulainya.

Aku berusaha untuk tidak menyalahkan keluargaku atas kepayahan kemampuan bersosialisasiku, tetapi itu sulit. Tekanan taraf hidup meningkatkan tendensi individualistis di antara kami. Ibuku terobsesi pada ponsel dan segala kecanggihannya (apalagi dengan terobosan ponsel pintar). Dengan kondisi ekonomi keluarga kami yang sedang-sedang saja—bukan menengah ke atas maupun ke bawah, ibuku terhitung sangat protektif terhadap alat-alat elektronik yang kami punya. Ketika aku jatuh di tangga selagi membawa laptop, ibuku malah memarahiku karena kecerobohan hampir merusakkan barang mahal (padahal benda itu masih utuh dalam dekapanku), bukannya bertanya apakah aku baik-baik saja. Ayahku lebih sayang terhadap kucing peliharaan kami. Dia lebih senang memangku kucing sambil membaca koran daripada mengajakku bicara. Barangkali hal itu membantunya lebih rileks usai bekerja seharian. Kakak dan dua adikku tidak suka mencampuri urusan satu sama lain. Kami lebih suka bertapa di dalam kamar masing-masing atau pulang larut, jarang bertukar cakap. Kesimpulannya, tidak ada yang mengajariku cara bergaul dengan baik dan benar.

Masalahnya, selain Erin, aku tidak punya teman lain. Rekan-rekanku di ekstrakurikuler Kelompok Ilmiah Remaja pada masa sekolah menengah pertama tidak masuk hitungan. Kami jarang sekali bicara di luar konteks sains dan materi eksperimen pada sesi pertemuan seminggu sekali. Sekadar informasi, aku bergabung di sana bukan karena merasa pintar. Pilihan ekstrakurikuler lain di sekolah swasta kecil itu hanya Paskibra dan Komputer. Kelompok Ilmiah Remaja tidak lebih menggiurkan, tetapi aku masih bisa menumpang presensi di sana tanpa perlu berbaris lama-lama di lapangan dan mengutak-atik perangkat lunak yang sukar kupahami.

Menginjak kelas dua di sekolah menengah atas, kupikir baik-baik saja hidup tanpa teman. Di kelas, aku punya rekan sebangku yang sangat pendiam. Dia lebih suka memainkan gawai dengan kepala ditidurkan di atas meja dibanding mengobrol denganku. Aku tidak masalah dengan itu, sungguh.

Karena ada masalah lainnya, yakni aku tidak suka dengan kebanyakan murid sekolah menengah atas jaman sekarang. Murid perempuan mengenakan kosmetik tebal ke sekolah, yang benar saja. Jujur, sebagian dari mereka tampak cantik, tetapi sebagian lainnya mirip sekali dengan badut sirkus dan ondel-ondel. Murid laki-laki tidak lebih baik. Mereka bau, berpikiran kotor, dan sering bertingkah konyol dengan menggodai murid perempuan untuk menarik perhatian. Baik murid perempuan maupun laki-laki, yang keluar dari mulut mereka biasanya tak jauh dari ucapan-ucapan dangkal mengenai tren fesyen terkini, gawai termuktahir, serta sinetron-sinetron yang mengagungkan penampilan dan gombalan tak berfaedah.

Katakan aku sinis dan skeptis, kenyataannya aku tidak bisa berbaur dengan mereka semua.

Alhasil kuhabiskan waktu istirahatku dengan mendekam di perpustakaan; bukan karena aku kutu buku dan merasa intelek, tetapi karena di sana ada pendingin ruangan. Stereotip penjaga perpustakaan yang galak dan cerewet melekat pada Ibu Ajeng, tetapi tidak berlaku bagiku. Asal berlaku sopan dan tidak berisik di perpustakaan, serta memuji kepiawaian Ibu Ajeng dalam mengkategorikan katalog buku, aku memperoleh akses VIP di sana. Bahkan aku diizinkan tidur-tiduran di atas karpet pada ujung ruangan tanpa ditegur sang penjaga perpustakaan. Selama ada novel-novel fantasi sumbangan para alumni dan pendingin ruangan yang berfungsi baik, aku bisa tahan menempuh hari-hariku di sekolah menengah atas tanpa kendala. Rekan-rekan sekelas hampir menganggap eksistensiku tidak ada, tetapi apa peduliku?

Lagi pula, kehidupan pokok manusia hanya berkutat pada tiga ihwal utama: sandang, pangan, dan papan. Aku memiliki ketiganya, apa lagi yang kuperlukan?

Namun, berita buruknya, terkadang pikiran manusia dapat menjadi begitu sempit, terlebih bila kamu terlalu banyak menghabiskan waktu sendirian.

Aku masih sering teringat dengan mimpi burukku: menghabiskan hari tua sebatang kara tanpa ada yang menemani. Tidak diinginkan. Tidak didambakan. Satu entitas sia-sia dan tak berguna di antara enam setengah miliar manusia lain di Bumi.

Mimpi itu mengingatkanku—meski aku enggan mengakuinya—pada prinsip manusia adalah makhluk sosial.

Aku butuh dan—enggan kuakui lagi—ingin memiliki teman.

Resilience: Remi's Rebellion (Novel - Tamat)Where stories live. Discover now