Nine

72.2K 4.9K 41
                                    

Maaf kalau ada typo atau kesalahan karena saya tidak pernah mengecek ulang. :p
________

Suara tetesan air dari kantung infus memenuhi ruangan serba putih itu. Di tempat tidur, terbaring Regan yang tampak pucat sedang tertidur pulas. Tadi dokter mengatakan jika atasannya ini terlalu banyak bekerja sehingga ia kurang tidur, makan dan istirahat yang cukup.

Aura menghela nafas panjang. Ia menatap wajah putih milik Regan yang sedang tertidur. Bagaimana sebenarnya cara hidup pria ini? Sampai-sampai ia tidak memikirkan kesehatannya sendiri. Untunglah tadi ia segera memanggil para OB yang langsung sigap menolongnya mengangkat tubuh Regan yang tinggi besar ke atas sofa. Lalu ia segera menghubungi salah satu rumah sakit. Hingga akhirnya sekarang Aura dapat bernafas lega karena Regan telah ditangani dengan baik. Ia juga sudah menghubungi Diego Tristan perihal anaknya yang masuk rumah sakit. Mungkin sebentar lagi datang. Jika orang tua pria ini datang, Aura bisa kembali lagi ke kantor.

Terdengar erangan di telinga Aura, ia mendekati Regan yang perlahan membuka matanya.

"Di mana aku?" erangnya.

"Saat ini anda sedang berada di rumah sakit pak," jawab Aura.

Regan berusaha bangkit, namun dengan cepat Aura menahannya untuk tetap berbaring.

"Anda harus berisitirahat."

"Aku masih memikiki pekerjaan yang harus kuselesaikan," bantah Regan yang sudah kembali berbaring. Rasa pusing dikepalanya membuatnya menurut untuk berbaring.

"Anda tidak perlu khawatir mengenai pekerjaan Anda. Saya tidak habis pikir, bagaimana bisa anda bekerja sekeras ini sampai sakit begini. Untuk apa anda memiliki ratusan karyawan di perusahaan anda? Jika pada akhirnya andalah yang jatuh sakit seperti ini," omel Aura.

Regan tertegun, tidak percaya dengan pendengarannya. Sekretarisnya sedang memarahinya bukan?

"Bapak lebih baik istirahat, untuk sementara biar saya yang menangani semuanya. Oh iya sebentar lagi ayah anda akan tiba. Lebih baik saya permisi dulu," ucap Aura sebelum akhirnya undur diri. Meninggalkan Regan masih terdiam dan memutuskan untuk memejamkan matanya. Setidaknya ia harus berterima kasih atas bantuan sekretarisnya itu karena telah menolongnya.

***

Dokter memutuskan untuk meminta Regan beristirahat di rumah sakit selama tiga hari. Dan selama atasannya tidak masuk, Auralah yang paling sibuk mengurusi segalanya. Mulai dari mengatur ulang jadwal temu dengan para klien hingga mengecek produk baru yang akan dirilis.

Untungnya semua dapat dilakukan Aura dengan baik. Meski sekarang tubuhnyalah yang rasanya mulai remuk. Karena terkadang ia harus lembur untuk menyelesaikan tugasnya yang belum selesai. Seperti hari ini, jam di meja kerjanya sudah berada di angka sepuluh tapi ia masih menyiapkan laporan yang harus ditandatangin oleh Regan besok.

Getaran pada ponselnya membuat Aura mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menghubunginya.

"Halo.."

"Kamu masih dikantor?" tebak seseorang di ujung sana.

Aura terdiam, hendak menjawab jujur atau tidak. "Tidak, pak. Saya sudah sampai rumah."

"Aku akan percaya padamu andai saja lampu meja kerjamu tidak menyala," ujar Regan.

Mendengar pernyataan bos-nya membuat Aura mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling ruangan. Sepi dan hening. Ia tidak dapat melihat satu orang pun di lantai ini.

"Bagaimana anda tahu?"

"Tentu saja saya selalu tau apa yang sedang dilakukan setiap karyawan saya, Aura."

Aura memejamkan matanya sejenak, "Jika tidak ada yang penting saya akan menutup teleponnya," ancamnya.

"Tunggu," cegah suara di ujung sana. "Saya tunggu kamu di lobby. Tidak baik seorang wanita pulang malam-malam."

Belum sempat Aura mencerna perkataan atasannya, Regan telah memutuskan teleponnya.

Apa maksudnya? Bukankah seharusnya pria itu masih berada dirumah sakit? pikir Aura yang pada akhirnya ia mematikan komputernya dan meraih tasnya lalu berjalan menuju lift.

Aura melangkah keluar dari lift dan pandangan matanya menangkap sebuah mobil sedan hitam mengkilap yang terparkir manis di lobby.

Setibanya di dekat mobil, Aura mengetukkan jemarinya pada kaca jendela. Lalu jendela itu terbuka dan Aura dapat melihat wajah Regan sedang menatapnya.

"Masuk," perintah pria itu.

Dengan terpaksa Aura merangkak masuk ke dalam mobil atasannya.

"Mengapa anda bisa berada disini? Bukankah anda seharusnya masih berada di rumah sakit?" cerocos Aura saat Regan mulai melajukan mobilnya.

"Tidak bisakah kamu bertanya satu-satu?"

Rasa malu melingkupi Aura. "Maaf, karena saya tidak habis pikir bagaimana anda bisa berada disini."

"Saya merasa bosan," ucapnya singkat.

Aura mengerutkan dahinya pertanda tidak mengerti.

"Saya merasa bosan karena saya tidak dapat melakukan apapun. Belum lagi makanan rumah sakit yang tidak tidak ada rasanya. Tidak tahukah mereka jika makanan mereka membuat sakitku bertambah parah?" gerutu Regan. Tapi kali ini perkataannya membuat Aura terpana, sebab kali ini tak ada nada dingin didalam perkataannya. Sehingga Aura terkikik kecil. Membuat Regan yang sedang menyetir meliriknya.

"Ada yang lucu?"

"Ti-tidak ada pak," bantahnya. "Terus kenapa anda ke sini?"

"Saya lapar dan saya tidak mau makan sendirian," sahut Regan. Lalu ja berdeham sebelum melanjutkan, "Dan hanya kamu yang terlintas di dalam kepala saya. Jadi saya ke sini ingin mengajakmu menemani saya makan malam."

Aura mengerutkan dahinya sekali lagi sembari memandang pria yang duduk di kursi kemudi. "Apakah ini perintah atau ajakan?" sindirnya.

"Well, saya rasa kamu lebih suka perintah dari pada ajakan."

Kali ini Aura tidak dapat menahan tawanya. Ia tidak menyangka dapat berbicara dengan atasannya yang dingin sesantai ini. Mungkin hati Regan sebenarnya tidaklah dingin seperti ekpresi wajah yang selalu ia pasang setiap hari. Dan hal itu membuat Aura sedikit penasaran.

"How about steak?" usul Regan.

Aura terlihat berpikir lalu senyum mengembang diwajahnya. "Why not?"

***

Let Me Love You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang