Five

119K 6K 105
                                    


Pertemuan dengan Akira Hamada berjalan dengan sukses. Pria paruh baya berkebangsaan Jepang itu sangat tertarik dengan produk terbaru dari Tristan Company. Sebuah mie instan dengan cita rasa tanah air yang menurut Akira mungkin akan disukai oleh masyarakat Jepang. Di mana masyarakat Jepang lebih menyukai sesuatu yang praktis seperti mie instan. Walaupun pemerintah Jepang sedang dalam upaya mengurangi mengkonsumsi makanan mie instan, tetapi Akira tetap antusias.

Setelah berakhir dengan menandatangani kontrak, Akira Hamada, pria yang hampir tidak memiliki rambut dan tingginya hanya sebahu Regan saling bersalaman.

"Terima kasih, saya harap kerjasama kita akan berjalan dengan baik, Mr. Akira." Regan mengucapkannya dengan tulus. Bekerja sama dengan Mr. Akira adalah peluang besar untuk memperlebar produk-produknya ke mancanegara.

"Saya yang seharusnya berterimakasih," ucap Mr. Akira. "Oh iya, saya menyukai sekretarismu. Dia sangat cekatan selain itu dia juga cantik dan ramah. Sangat cocok denganmu yang kaku," lanjut Mr. Akira diiringi tawa kerasnya.

Perkataan Mr. Akira membuat Aura menghentikan kegiatannya yang sedang menatap ipad untuk mengecek jadwal direktur selanjutnya sempat berhenti sejenak.

"Anda bisa saja Mr. Akira. Tapi sayangnya kami hanya cocok dalam pekerjaan saja," ujar Regan. Mendengar pembelaan diri yang terlontar dari bibir Regan membuat Aura menarik nafas lega, walaupun sejak tadi hatinya berdebar menunggu jawaban apa yang akan diberikan oleh atasannya.

Mr. Akira tertawa lagi.

"Anda bisa saja, sekarang anda berkata begitu. Tapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi besok? Bukankah begitu?" tanya Mr. Akira dengan mata menyipit.

Dalam hati Aura menunggu jawaban apa yang akan diberikan Regan. Tapi laki-laki itu hanya melemparkan senyumnya. Mengapa Mr. Akira begitu ngotot jika dirinya dan atasannya adalah pasangan yang serasi!? Tidak bisakah orang tua itu melihat tatapan dingin milik Regan ketika ia melihat wajah Aura? Rasanya seperti ingin mengeluarkan laser es dari matanya dan mengubah Aura menjadi Olaf, boneka salju yang bisa bergerak disalah satu film yang ia lihat ketika menemani Freya yang antusias ingin menonton film tersebut. Padahal gadis kecil itu sudah menonton film itu lebih dari lima kali.

Regan hanya bisa tersenyum sekali lagi. "Mari saya antar anda menuju lobby," kata Regan ketika ia melihat Mr. Akira bangkit dari duduknya dan pamit undur diri untuk kembali ke hotel.

***

Suasana lift sangat sunyi di jam pulang kerja seperti sekarang ini. Hanya dirinya dengan Regan Tristan yang baru saja kembali setelah meeting dengan salah satu klien lama Diego Tristan. Dan Aura yang mulai terbiasa dengan sikap Regan berdiri di belakang pria itu dalam diam.

"Setelah selesai membereskan barangmu, tunggu saya di lobby," kata Regan tepat pada saat pintu lift terbuka. Lalu ia berlalu meninggalkan Aura yang tertegun mendengar perintah atasannya. Aura menarik nafas panjang sebelum akhirnya ikut melangkah keluar lift.

Selesai membereskan barangnya, Aura yang mencoba menulikan telinganya atas apa yang tadi dikatakan Regan berjalan menuju lift. Sedangkan Regan telah pulang sejak beberapa menit yang lalu.

Sesampainya dilantai dasar, Aura berjalan menunduk menuju pintu lobby. Dan ketika ia tiba di pintu lobby yang terbuka secara otomatis, matanya membesar. Sebuah mobil sedan hitam terparkir sempurna di depan lobby.

Sedetik kemudian, kaca jendela mobil penumpang terbuka. Aura harus sedikit membungkuk untuk melihat siapa pemilik mobil tersebut. Di dalamnya sosok Regan yang sedang menatap lurus ke depan sedang duduk di balik kursi kemudi. Sontak kali ini Aura mengerutkan sepasang alisnya. Jadi pria ini benar-benar serius atas perkataannya tadi!

Regan Tristan menoleh dan menatap sekretarisnya, "Masuk."

Tapi yang diberi perintah masih bergeming di tempatnya. "Mau sampai kapan kamu diam saja. Masuk! Atau apa perlu saya paksa kamu masuk?"

"Eh?" Seakan tersadar, Aura langsung masuk ke dalam mobil dihadapannya. Takut atasannya itu marah-marah.

"Di mana rumah kamu?"

"Eh?"

Regan berdecak kesal, "Saya tanya sekali lagi. Di mana rumah kamu?"

Dengan cepat Aura menyebutkan alamat rumahnya. Laki-laki itu hanya mengangguk dan berakhir dalam diam. Setelah itu tak ada satu pun yang berniat untuk membuka pembicaraan.

Pikiran Aura dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Tapi ia tahu jika ia bertanya sama saja dengan mencari mati. Lebih baik dia diam dan menyimpan semua pertanyaannya itu di dalam hatinya. Aura melirik Regan, laki-laki ini memang aneh, pikirnya. Orang yang sulit ditebak lebih tepatnya. Cepat-cepat Aura mengalihkan pandangannya, sebelum ketahuan oleh Regan.

"Turunkan saja saya di depan," ucap Aura tiba-tiba. Membuat Regan terpaksa menginjak remnya mendadak. Sehingga laki-laki itu memaki pelan. "Saya akan ke mini market dulu."

"Baiklah."

"Terima kasih pak atas tumpangannya." Regan mengangguk. "Kalau begitu saya permisi."

Ketika Aura hendak membuka pintu, ia merasa sebelah lengannya dicengkeram. Perlahan ia menoleh dan memandang lengannya yang benar sedang dipegang oleh jemari Regan, lalu berakhir naik menatap wajah pemilik jemari tersebut.

Reflex Regan melepaskan tangannya akibat tatapan Aura. "Maksud saya tunggu," ujar Regan dingin. "Saya ingin mulai besok kamu memakai flat shoes yang nyaman dengan kaki kamu."

Kedua alis Aura bertautan, wajahnya terlihat bingung. Apa lagi kali ini? Apa atasannya ini belum puas memprotes?

"Anda tidak bisa melarang saya pak Regan. Terutama dengan cara berpakaian saya. Apalagi saya seorang sekretaris, bukan penari balet. Permisi." Tanpa menunggu jawaban dari Regan, Aura membuka pintu mobil dan berjalan menuju minimarket yang tak jauh dari tempat di mana mobil Regan berhenti. Regan yang masih diam dengan tatapan matanya yang dingin terus memperhatikan kepergian Aura hingga sosok perempuan itu masuk ke dalam mini market.

***

Hari weekend seperti ini, Aura biasanya mengunjungi Briana, sahabat terbaiknya. Namun kali ini mereka berencana shopping bareng di salah satu mall di ibukota. Aura menggendong si kecil Fidell Emrick Calief yang masih berusia satu tahun. Batita ini memang masih kecil, tapi ketampanannya sudah kelihatan.

"Ingat lho Ra, benci dan cinta itu hanya dibatasi seutas benang tipis," ujar Briana yang sibuk membuat susu untuk Fidell. Saat ini mereka sedang duduk di dalam salah satu toko donat yang cukup ramai.

"I know. But itu tidak berlaku buat gue dan atasan gue," sahut Aura penuh keyakinan.

Briana hanya menggelengkan kepalanya. "Let's make a deal!"

Mendengar tantangan yang diberikan oleh sahabatnya, sontak kedua alis Aura terangkat. Fidell yang di dalam pelukan Aura terkikik kecil. Seakan ia menyoraki dua wanita dewasa di dekatnya.

"Jika kalian sampai jatuh cinta, lo harus membelikan gue Charlotte Leather Handbag Guess yang gue incar! Dan jika lo menang, gue yang akan membelikan Lady Luxe Leather Satchel Bag yang lo mau. Bagaimana?"

Mendengar tas incarannya disebutkan membuat batin Aura bertengkar. Menggiurkan..pikirnya.

"Deal," jawab Aura. "Gue pastikan lo nggak akan mendapatan tas Guess lo itu. Sebaliknya gue-lah yang akan dengan senang hati menerima tas pemberian dari lo, Bri," kata Aura dengan yakin.

***

Let Me Love You Onde histórias criam vida. Descubra agora