"Tapi ... masa tiga tahun yang kamu habiskan di sekolah ini, adalah waktu terlama untukmu menutup diri dengan mereka. Kamu sudah terlalu lama merasakan kesepian dan kesendirian. Jika kebanyakan orang di sekitarmu tidak dapat memahamimu dengan baik. Kenapa kamu tidak coba untuk menemukan segelintir orang yang sama istimewanya dengan dirimu, dan pasti akan mengerti kamu?"

Sembari melipat kembali surat kelulusannya, Helga berkata. "Kamu benar. Mungkin, ada baiknya jika aku ... mencari segelintir orang itu, dan tinggal bersama mereka. Daripada harus hidup dengan terus membohongi mereka yang mengucilkanku." Helga mengubah posisi duduknya menjadi tegap, meraih tas selempang yang sedari tadi gadis itu abaikan di samping tubuhnya. "Aku pulang dulu ya? Dan terima kasih, sudah bersedia menjadi satu-satunya teman ngobrolku selama tiga tahun di sekolah ini." Sambung Helga pamit. Melangkah pergi meninggalkan pohon beringin dengan sesosok makhluk berambut panjang, bergaun putih terusan yang menggantung terbalik di atas pohon. Dengan mata putih besar dan sayatan vertikal di lehernya yang mengucurkan banyak darah, penghuni pohon itu terus memandangi punggung Helga yang kian menjauh.

Ada yang perlu diluruskan di sini. Tak seperti kebanyakan hantu yang muncul di film-film horor, hantu atau jin yang sesungguhnya itu ... tidak pernah berkomunikasi dengan menggunakan mulut mereka (meski sebagian bangsanya tak memiliki mulut) untuk berbicara. Jenis apa pun makhluk halusnya, ia tidak akan menggerakan bibirnya, sama sekali. Mulut mereka terkatup, namun kita yang peka ... akan tetap mendengar suaranya.

©Rainsy™

Sepasang pengendara motor sport dengan pakaian balapnya yang lengkap, terus memacu kecepatan motornya di tengah jalanan kota yang mulai ramai. Sesekali dua orang pengendara motor yang wajahnya tertutup helm itu, mendapat umpatan dan makian dari para pengguna jalan lain yang hampir saja celaka karenanya.

Alih-alih berhenti sejenak untuk meminta maaf, dua orang pemuda pengendara Ducati Superbike 848 Evo merah dan Yamaha YZF R1 biru itu malah terkekeh, mendengar sumpah serapah dari tukang sayur yang hampir ditabrak oleh mereka.

"Bro! Kita berhenti di sana dulu ya? Gue punya firasat bagus soalnya." Remaja lelaki yang mengendarai motor biru itu setengah berteriak pada teman balapannya. Dan hanya direspon dengan suara kencang gas tangan dari si pengguna motor Ducati merah di sebelahnya.

Rupanya, sebuah warung yang berada tidak jauh dari perempatan jalan Solo-lah yang menjadi garis finish dari ajang kebut-kebutan Aiden dan Raga di siang bolong yang panas itu. Sembari meluruskan kedua kakinya di atas bangku panjang di depan warung, Aiden yang tampak kelelahan langsung meneguk habis minuman dingin yang baru diambilnya dari Showcase (lemari pendingin minuman). Sedangkan Raga, menyesap sedikit demi sedikit soda kaleng di tangannya sembari bersandar pada sebuah tiang lampu jalan.

"Udah masuk tahun pelajaran baru lagi nih, kira-kira ... kita bakal dapet ade kelas yang kayak gimana ya?" celetuk lelaki berkulit kuning langsat itu menatap lurus ke depan. Menonton aksi konvoi para anak SMP yang pakaian seragamnya, sudah tak berwarna putih-biru lagi.

Aiden yang diajak bicara oleh teman satu gengnya itu tersenyum miring, melihat tingkah begajulan anak-anak SMP yang melintasi jalanan di depannya. "Firasat lo ... sebentar lagi kayaknya bakal kejadian deh," celetuknya mengalihkan pembicaraan. "Ga, ayo! Siapin perlengkapannya," sambung pemuda berambut jabrik itu yang justru lebih tertarik dengan kejadian tragis yang diramalkan akan terjadi.

Raga yang paham dengan maksud perkataan sahabatnya itu, langsung bergerak menuju muka warung. "Lo jualan jeruk gak? Gue minta dong satu!" tanya pemuda berpipi tirus itu pada sang pemilik warung.

"Jeruk? Jeruk ini maksudnya?" sahut si pemilik warung, menyodorkan satu plastik jeruk mandarin.

"Ish! Bukan itu! Jeruk nipis atau lemon, lo punya gak?" terang Raga, memperjelas permintaannya.

Supranatural High School [ End ]Where stories live. Discover now