KEPING LIMA

45.9K 3K 335
                                    

"Bangun, Fris. Salat dulu."

Aku menggeliat ketika mendengar bisikan Barga di telingaku. Kurentangkan kedua tangan untuk menghilangkan rasa pegal yang kurasakan semenjak kehamilanku semakin membesar.

"Ayo, Fris."

"Kamu duluan aja deh, Bar. Aku masih ngantuk," ucapku, lalu kembali memejamkan mata dan berpura-pura tidur.

"Ayo dong, Fris. Selama lima bulan kita nikah, nggak pernah sekalipun kita salat berjamaah."

Aku tetap bergeming. Tidak mau menghiraukan ajakannya sama sekali. Hingga akhirnya dia menyerah dan melangkah menjauh memasuki kamar mandi.

Tinggal cukup lama di luar negeri membuatku terbawa arus budaya luar dan menjadi asing dengan hal apa pun yang menyangkut soal ibadah. Dan lagi, aku berpikir untuk apa melakukan semua itu? Apa untungnya buatku? Karena buktinya, saat dulu aku masih rajin melakukannya, kebahagiaan tetap pergi menjauh dariku. Nasib baik tidak pernah lagi berpihak padaku.

Aku memutar posisiku dan mengamati Barga yang sedang khusuk dalam ibadahnya.

Ya, Barga benar. Selama lima bulan kami menikah, dia tidak pernah lupa mengajakku setiap kali salat di rumah. Namun, aku selalu mencari alasan untuk menolaknya seperti tadi.

Barga menoleh padaku setelah selesai salat dan menemukanku sedang memperhatikannya. Dia menghampiriku, lalu memeluk tubuhku dari belakang.

"Besok aku kasih hukuman kalau kamu masih nolak setiap aku ajak salat," bisiknya.

"Aku mau salat dengan keinginanku sendiri, Bar, bukan karena paksaan dari kamu."

"Nggak apa-apa," sela Barga, kelihatan tidak mau dibantah. "Lebih baik kamu aku paksa dulu sampai akhirnya jadi kebiasaan. Lama-lama kamu pasti melakukan itu dengan kesadaran kamu sendiri. Daripada kamu cuma nunggu. Kapan kamu siapnya, Fris?"

Alih-alih menjawab ucapannya, aku menarik tangannya dan semakin mengeratkan pelukannya di sekeliling tubuhku. "Bobo lagi yuk, Bar."

Barga kembali terkekeh. "Kamu tuh pinter banget ngelesnya. Kamu pernah dengar Filosofi Plato?"

"Apa itu?"

"Bahwa sebuah realitas terbagi menjadi dua, yang pertama rasio, dan yang kedua pancaindra. Ada realitas yang dihadirkan melalui indra-indra kita, seperti pengalaman hidup dan apa saja yang kita alami dan rasakan. Tapi di balik itu, ada dunia lain yang tidak dapat kita jangkau selain dengan nalar rasio yang kadang kita sendiri juga kurang paham dengan maksudnya. Semua itu mengarah pada satu hal, yaitu Tuhan kita yang Maha Gaib."

"Kamu tahu nggak, denger kamu ngomong gitu kayak aku lagi dipeluk sama Pak Dosen."

Kali ini, kekehan Barga mengembang menjadi tawa keras yang sangat lepas. Dia semakin mempererat pelukannya dan mengusap-usap perut buncitku dari belakang.

"Perbedaan manusia dan hewan selain dari akal pikirannya, adalah dari kesadaran kita untuk beribadah, Frisca," ungkap Barga lagi setelah tawanya reda, nadanya terdengar lebih serius dari sebelumnya. "Karena itu, jadilah kita sebagai manusia yang sebaik-baiknya manusia. Jangan mau kita disamakan dengan hewan karena tidak adanya kesadaran kita untuk bersujud di hadapan Tuhan."

Ucapan Barga kali ini tidak bisa kuabaikan begitu saja. Tenggorokanku tersekat ketika mendengar nada bicaranya yang berubah serius. Aku sadar, selama ini aku sudah terlalu angkuh hingga tidak lagi mau memercayai Tuhan. Aku tidak mau lagi mengikuti pola yang sudah Tuhan rangkai untuk membentukku. Aku mengabaikan semua panggilan yang bergema setiap datangnya waktu beribadah. Dan semua itu kulakukan ketika aku sadar bahwa cara Dia membentukku terlalu membuat sakit, hingga kuanggap itu semua hanya omong kosong.

Elegi Patah HatiWhere stories live. Discover now