"Frisca."

Aku diam, mengabaikan panggilan Barga.

"Hey." Barga memutar tubuhku dan menatap langsung kedua mataku. "Kamu dengar omongan aku tadi, kan?"

Aku mendengus. "Yeah."

"Dan kamu mau ngikutin omongan aku, kan?"

"Aku nggak bisa janji, Barga. Kamu nggak bisa paksa aku."

"Bisa. Aku suami kamu dan aku berhak memerintah kamu selama itu untuk kebaikan. Kewajiban aku sekarang untuk selalu membimbing kamu dan mengarahkan jalan kamu menuju kebaikan."

Oh astaga... aku benci harus berdebat seperti ini dengannya. Entah kenapa aku merasa disudutkan.

"Barga, please... jangan tekan aku kayak gini."

Barga mendesah pasrah. Dia pun mengalah dan memilih menghentikan argumen ini. Mungkin dia menyadari bahwa dia sudah terlalu menyudutkanku.

"Oh iya, Fris. Aku lupa belum beli kado buat Ayah."

Sial. Sekalinya dia mengalihkan topik pembicaraan, kenapa harus hal ini yang dia bahas? Aku sengaja tidak pernah membahas masalah ulang tahun ayah mertuaku di depan Barga agar dia lupa, tapi buntutnya malah dia sendiri yang mengingatkanku.

"Aku aja yang cari hadiah buat Ayah. Tapi aku nggak ikut ke acaranya, ya?"

Barga kembali menatapku tegas. "Kenapa lagi, sih? Masih mikirin malu? Masih takut keluargaku nggak akan memperlakukan kamu dengan baik?"

Aku menunduk tanpa menjawab pertanyaannya.

"Frisca!"

"Aku nggak mau dateng, Bar."

"Kenapa? Alasannya apa?"

"Ada orang yang nggak mau aku temui di sana." Kalimat itu meluncur mulus dengan sendirinya.

Kening Barga berkerut dan menatapku heran. Sedetik kemudian dia tertawa. Bukan tawa yang menggambarkan kegembiraan, melainkan tawa yang seakan mengataiku bodoh hingga membuat hatiku kebas saat mendengar nada tawanya.

"Konyol. Alesan kamu itu bener-bener konyol tahu, nggak? Kenapa sih emangnya? Kamu cemburu sama Kak Kia? Dan ini karena kamu belum bisa lupain Bang Arkha? Iya, kan? Sampai kapan kamu mau terus kayak gini, Fris? Sampai kapan kamu mau terus-terusan bergelung dengan kenangannya Bang Arkha? Why you still can't get over him? Why you can't let him? Why?"

Well, I'm done. That's enough. "Kamu bisa ngomong kayak gitu karena nggak pernah ngerasain ada di posisi aku. Aku iri pada Kiasah karena hidupnya sempurna dan aku nggak. Mungkin setelah dengar ini kamu pasti ngetawain aku. Sama seperti temen-temenku yang lain. Silakan! Kamu nggak pernah ngalamin gimana rasanya jadi aku. Kamu nggak pernah ngalamin gimana rasanya jadi anak koruptor, mulai jadi bahan bully-an, sampai sahabat-sahabatku menjauh karena malu temenan sama anaknya koruptor.

"Sedangkan Kiasah, dia punya semua yang aku mau. Dia punya keluarga yang utuh dan bahagia. Hidup tenang dengan suami dan anaknya. Dia punya kamu, adik yang sayang sama dia. Dan dia punya cinta Arkha... yang nggak pernah bisa aku miliki. Kiasah nggak perlu susah payah untuk dapat perhatian banyak orang. Lain halnya sama aku. Bahkan untuk dapat perhatian dari Arkha aja aku harus ngemis dulu, Bar. Dan itu yang bikin aku cemburu sama dia. Karena aku pikir, kenapa dia bisa dapat semua kebahagiaan itu sementara aku nggak?"

Lupakan tentang gengsi. Lupakan soal harga diri. Aku hanya ingin mengeluarkan apa yang selama ini bergelung di dalam hati. It's like standing with one foot for long hours, because I hold this love alone. Dan ini sakit. Sangat sakit. Rasa sakit seperti bom waktu yang kutumpuk sejak lama, lalu meledak dalam waktu bersamaan. Aku bahkan tidak peduli Barga akan menganggapku perempuan murahan yang mengemis cinta dari laki-laki yang jelas-jelas tidak pernah mencintainya. Aku tidak peduli.

Jantungku kian berdentum saat Barga menarik tubuhku dalam pelukannya. Lengan-lengan besar itu membungkusku dengan rapat. Menyalurkan sebuah kehangatan yang menenangkan dan seakan menjanjikan sebuah perlindungan. Anggap aku murahan, tapi kenyamanan ini terlalu sayang untuk kutolak.

Seperti obat penenang, lamat-lamat emosiku surut tanpa sisa. Meninggalkan rasa asing yang membuncah. Entah apa itu. Aku tidak peduli. Aku tidak mau berhenti. Karena aku tahu ketenangan inilah yang aku butuhkan.

****

Elegi Patah HatiWhere stories live. Discover now