Who? (2)

60 8 10
                                    

Bulan tak terlihat sempurna, hanya sepenggal yang memberikan sinarnya yang redup untuk mereka yang masih tertidur pulas. Bundaran itu tidak lagi sempurna, satu sudah hilang.

Bulan di atas sana hampir menghilang semua. Berganti dengan fajar berwarna jingga. Terbit dari timur. Perlahan dan ditunggu mereka sekarang yang masih tidur. Mengubah gelapnya gulita, paling tidak membawa rasa aman.

Namun sayang, setiap kali fajar itu terbit tak pernah terlihat. Selalu ada kabut yang menjadi penghalang. Pagi yang seharusnya membawa rasa aman berubah menjadi mencekam. Itulah pagi mereka sekarang, berada di tempat yang tidak pernah mereka kunjungi, tak pernah mereka jumpai.

Bondan membuka matanya yang masih berat. Menguceknya dengan kedua tangan, lalu bangun duduk dengan kaki terlonjor. Dia melihat sekelilingnya, semuanya masih tidur. Dia merasa ada yang kurang. Kembali Bondan melihat sekelilingnya, sekarang dengan menghitung jumlah mereka. Kurang satu.

Dia baru sadar, Ibu Yuan yang tidur di sampingnya tidak ada. Bergegas dia berdiri lalu pergi mencari Ibu Yuan sendirian.

Kabut mulai terlihat. Dia mencari Ibu Yuan di sekitar tempat istirahat. Namun tidak terlihat Ibu Yuan berada di sekitar situ. Dia kembali ke tempat yang lain tidur. Mendekati Nun yang masih pulas dengan tidurnya.

"Nun," suara Bondan pelan.

Bondan menggerak-gerakkan tubuh Nun, "Nun! Bangun Nun."

Setelah beberapa kali Bondan menggerakkan tubuh Nun, barulah Nun terbangun. Matanya masih merah. Nun menguap dan menatap Bondan di depannya.

"Apa?"

"Ibu Yuan," Bondan menarik napas "hilang."

Nun yang mendengar samar-samar kaget dan langsung terbangun.

"Apa?" suara Nun terdengar lebih lantang dari sebelumnya.

"Ibu Yuan hilang, Nun." Bondan mengerutkan kedua keningnya.

"Sejak kapan? Sudah dicari?" terlihat raut muka Nun yang cemas.

"Gue juga nggak tahu sejak kapan, sudah gue cari di sekitar sini tapi tetap nggak ada." kata Bondan.

Suara Bondan ternyata membangunkan yang lain. Diba yang paling pertama bangun.

"Bukannya Ibu Yuan mau pulang? Dia sendirikan yang bilang?" ujar Diba.

Bondan dan Nun menatap Diba, lalu setelah itu mereka saling bertatapan.

"Kenapa?" tanya Diba.

Tidak ada jawaban. Nun berdiri dan menatap mereka satu-persatu.

"Kita cari Ibu Yuan, sekarang?" Nun mulai melangkah. Kabut mengikuti setiap langkah Nun.

Bondan mengikuti dari belakang, lalu disusul mereka yang masih terlihat lemah dan baru saja bangun dari tidurnya.

Fajar bercampur kabut menemani perjalanan mereka mencari Ibu Yuan. Kak Tere juga membawa bayi Wira untuk mencari Ibu Yuan.

"Bu Yuan!" Zul berteriak, matanya masih sayu.

Jarak antara mereka tidak terlalu jauh, mereka terus berjalan dengan hati-hati. Kabut walaupun masih pagi tapi terlihat sudah cukup tebal. Membuat pencarian sedikit lebih susah.

"Tunggu!" Bondan berhenti, membuat yang lain melihatnya.

"Kenapa sih Bon?" gumam Zul.

"Kalian lihat ini," Bondan berjongkok, memperhatikan sesuatu di bawahnya.

Semua ikut berjongkok mengikuti Bondan. Melihat sesuatu yang ingin diperlihatkan Bondan.

"Ini bekas seretan." Bondan mengusap tanah itu. Tanah yang sudah tidak rapi lagi, memang terdapat bekas seretan di sana.

Yang lain menajamkan penglihatannya. Tidak ingin salah lihat, apa benar ada seretan yang terlihat di tanah tersebut?

"Iya, ini seperti petunjuk. Ibu Yuan pasti dibawa dengan diseret." Nun ikut mengusap bekas seretan itu.

"Ayo, sekarang kita ikuti arah seretan ini." Pak Agam berdiri, siap untuk mengikuti bekas seretan.

Nun kembali memimpin di depan. Mengikuti arah seretan ini, mencari ujungnya dan melihat apa yang sebenarnya ada diujung seretan yang mereka lihat.

Semua terlihat panik kecuali Diba. Dia yang paling malas berjalan, dia satu-satunya yang tidak terlihat panik. Menurutnya perjalanan mereka itu membosankan.

Seretan itu membawa mereka semakin dalam masuk ke dalam hutan. Lisa diberi tugas untuk menandai setiap pohon yang mereka lewati. Bekas seretan inj cukup panjang. Kalau memang betul ini adalah bekas seretan Ibu Yuan, pasti saat itu Ibu Yuan sangat kesakitan.

Nun berhenti mendadak. Membuat yang lain sedikit kaget. Bekas seretan itu terhenti. Perlahan Nun maju, melihat apa yang berada di balik semak-semak di depannya. Tangannya menyibak rumput yang tinggi melindungi.

"Astaga," Nun menutup matanya, berpaling tidak ingin melihat sesuatu di depannya.

Semua yang melihat Nun menjadi penasaran, mereka juga ikut maju dan melihat sesuatu yang ada di belakang mereka.

Sama halnya dengan Nun, mereka menutup mata dan berpaling tidak ingin melihat.

"Ibu Yuan," Kak Tere mengeluarkan air mata, tangannya dengan cepat mengayun-ayunkan bayi Wira.

Pak Malik menarik napas panjang, "Inalillahi wainna ilahi rajiun."

Dibalik semak-semak tersebut ada mayat Ibu Yuan. Mayat dengan mulut ternganga, leher yang merah, dan tubuh yang kaku.

"Pasti pelaku yang sama dengan bang Chandra." Nun mendekati mayat Ibu Yuan.

"Bagaimana ini Nun? Takut gue." Zul memasang muka masamnya.

"Semuanya tetap tenang, Aku mohon kalian jangan panik." Nun bicara sambil terus melihat mayat Ibu Yuan.

Nun perlahan memegang tubuh Ibu Yuan yang sudah kaku. Dingin, tidak ada lagi darah yang mengalir. Nun menutup mulut Ibu Yuan dan melihat bekas cekikan yang ada di leher Ibu Yuan.

"Pak Agam dan Pak Malik bisa tolong bantu kuburkan Ibu Yuan?" Nun berdiri dan menatap Pak Agam dan Pak Malik bergantian.

Yang ditatap mengangguk mantap. Lalu tanpa perintah segera melakukan tugasnya, Nun mendekati Bondan.

"Sesuatu yang aneh, kita harus cari tahu." Nun berbisik, mulutnya dekat sekali dengan telinga Bondan.

"Kita?" Bondan membalas bisikan Nun.

Tidak ada yang melihat pembicaraan mereka, semua ikut membantu Pak Agam dan Pak Malik.

"Ya, kita. Satu misi untuk ini semua."

--------------
(Bersambung)

Update lagi nih, aku masih perlu kritik dan saran dari kalian. Nanti aku kasih tahu untuk jadwal editing atau revisi cerita ini.
makasih

Enjoy Reading.

1 (ONE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang