Tewas (2)

49 10 2
                                    

Bapak dengan pakaian pejabat mengucak matanya. Mulutnya terbuka lebar, dia baru saja menguap. Tangannya masih memegang perut, dia baru sadar kalau tadi malam belum sempat makan.

Dia melihat yang lain, masih tertidur pulas. Matanya mendongak ke atas, matahari sudah terbit namun tertutup oleh kabut. Ya, kabut kembali datang. Perlahan dia melangkah ke depan. Berniat untuk mengambil beberapa buah untuk dimakan.

Mata Bapak dengan pakaian pejabat itu membesar, dia kaget bercampur dengan amarah.

"Hei! Liat ini!" Dia berteriak, berharap agar ada yang mendengar.

"Apa-apaan ini!" suaranya semakin lantang.

Bapak dengan pakaian seperti Ustadz terbangun.

"Ada apa pak?"

"Kok buahnya udah habis begini, jangan-jangan kalian udah makan tanpa sepengetahuan aku!" Bapak dengan pakaian pejabat itu marah.

"Udah habis yah? Astaga, Saya juga belum sempat makan." Bapak dengan pakaian seperti seorang Ustadz kaget.

Mendengar obrolan Bapak dengan pakaian pejabat dan Bapak dengan pakaian seperti seorang Ustadz, membuat yang lain terbangun. Perlahan mereka duduk dan mengamati apa yang sebenarnya terjadi.

"Kenapa sih?" Bondan yang merasa tidurnya terganggu protes.

"Kalian udah habisin buahnya yah? Kenapa tidak membangunkan saya." Bapak dengan pakaian pejabat itu menatap Bondan.

Mata mereka membulat. Kaget sekaligus sadar kalau tadi malam mereka belum sempat makan.

"Udah habis? Kok bisa?" suara Kakak Tere terdengar pelan, bayi Wira masih belum bangun dari tidurnya.

"Gila! Mana Abang itu?" Bondan menyumpah, dia mengepalkan kedua tangannya.

"Bukankah Abang itu yang jaga tadi malam?" sekarang Nun mulai bersuara.

"Kayaknya dia yang udah bawa kabur semua makanan kita." tuduh Diba.

"Emang dia berani jalan sendirian malam-malam? Bisa aja dia lagi buang air kecil di belakang." Zul menimpali.

"Nggak, udah pasti dia yang bawa." Diba meyakinkan semuanya.

"Loe tahu darimana?" Bondan menatap Diba lurus.

"Gue tadi malam nggak tidur, tapi entah kenapa saat gue liat jam Nun nih mata jadi berat." sahut Diba yang bangun dari duduknya.

Semua yang melihat Diba berdiri sontak penasaran apa yang hendak Diba lakukan sekarang.

"Loe mau ngapaian?" tanya Bondan.

"Mau ngambil makanan gue, tuh orang nggak mungkin tahu jalan hutan ini." Diba menatap Bondan tajam.

Bondan ikut berdiri, "Oke gue ikut, lagipula gue udah susah nyari tuh buah."

Diba tidak berkomentar. Dia berjalan meninggalkan yang lain, dibelakangnya Bondan mengikuti. Zul yang melihat mereka pergi mengedikkan bahu ke arah Nun.

"Kita susul mereka, yang lain tetap di sini." Nun berdiri yang langsung diikuti oleh Zul.

Mereka berdua menyusul Diba dan Bondan yang sudah berjalan. kabut membuat mereka tidak bisa melihat dengan jelas ke arah mana Diba dan Bondan akan pergi.

Sementara yang lain kembali terduduk lemas, memegang perut yang belum terisi. Kakak Tere terus saja menenangkan bayi Wira yang terbangun dan sedang menangis.

***

Diba terus berjalan di depan tanpa menghiraukan yang di belakangnya. Langkahnya cepat, sepertinya dia sudah hafal betul seisi hutan ini.

"Pelan sedikit kenapa sih!" Bondan berteriak, di sampingnya sudah berdiri Nun dan Zul.

"Loe mau kehilangan makanan yang susah payah kita cari!" tanpa melihat ke belakang Diba menyahut.

Bondan tidak lagi menyahut, lagipula Diba ada benarnya juga. Mereka terus berjalan, melawan kabut yang menghalangi pandangan.

Tiba-tiba langkah Diba terhenti, matanya terbuka lebar. Dia menutup hidungnya secara spontan.

Bondan, Nun, dan Zul yang melihat tingkah aneh Diba langsung bergegas mendekatinya.

"Ada apa sih? Loe kelelahan?" tanya Zul penasaran.

Mulut Diba ternganga, dia tidak menjawab pertanyaan Zul. Tangannya menunjuk sesuatu yang dia lihat.

Sontak mereka semua juga ikut kaget, bahkan Zul sempat berteriak. Sesuatu yang mereka lihat, mengenaskan. Mereka melihat mayat.

Mayat yang mereka kenali, seseorang yang padahal mereka cari. Itu adalah mayat Abang dengan tubuh besar dan kekar. Mukanya rusak entah kenapa, tangannya penuh dengan sayatan. Lehernya memerah.

"Dia mati?" Zul mundur satu langkah.

"Yaiyalah bego," Bondan memukul pelan kepala Zul.

Diba dan Nun menatap serius mayat itu. Tampak sesuatu yang ganjil terlihat dari mayat itu.

Mereka mendekati mayat tersebut, memegang tubuhnya dan memeriksa beberapa luka yang terlihat.

"Mungkin dia dimakan hewan buas di sini." Bondan berargumen.

Nun menggeleng, "Bukan,"

Diba yang mendengar sanggahan Nun langsung menatapnya tajam.

"Dia dibunuh." Nun menyambung kalimatnya.

Zul yang mendengarnya kaget. Dia kembali mundur selangkah. Sementara Diba yang mendengar pernyataan Nun menatapnya lebih dalam.

"Loe tahu darimana?"

Bondan ikut memperhatikan serius. Sementara Zul semakin cemas bercampur dengan ketakutan.

"Kalian liat ini," Nun memegang perut mayat Abang dengan tubuh besar dan kekar itu. "... Luka tusuk, seseorang pasti sudah menusuknya, dan membuatnya terjatuh."

Nun menarik nafas sebelum melanjutkan, "Abang ini sempat melawan, tapi musuhnya terlalu kuat. Lalu musuhnya mencekik abang ini, supaya abang ini tidak melawan dia menyayat tangannya."

Zul semakin jijik bercampur dengan ketakutan.

"Tapi siapa?" suara Zul pelan hampir tidak terdengar.

"Nggak mungkin ada orang selain kita di sini." Bondan menambahkan.

Entah kenapa, Diba tidak banyak bicara. Wajahnya pucat, dia terus melihat mayat di depannya.

"Makanan yang dibawa abang ini sudah hilang, kemungkinan orang yang sudah membunuh abang ini yang mengambil semua makanan itu." Nun menatap Bondan, lalu matanya beralih melihat Diba.

"Kenapa?" tanya Nun saat melihat wajah Diba pucat.

Tidak ada jawaban dari Diba, dia hanya menggeleng pelan.

"Kita harus hati-hati, pembunuh itu dekat dengan kita." Nun berdiri, menatap Bondan dan Zul yang terlihat ketakutan.

Diba masih belum berdiri. Dia menatap lama mayat di depannya. Dia tahu kejadian malam itu.

---------------

(Bersambung)

Jangan bosan baca cerita gue yah, *emang ada yang baca? Hehe...

Kalau ada kritik dan saran silahkan yah...

Enjoy reading.


1 (ONE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang