KEPING EMPAT

Mulai dari awal
                                    

Kadang aku berpikir, hidup itu misteri. Aku nggak akan tahu seperti apa rupa masa depan sebelum berhadapan langsung dengannya. Menikah muda jelas nggak ada dalam daftar rencana hidupku sebelumnya. Umurku baru dua puluh tahun, Man. Dan saat ini aku sudah menjadi seorang suami. Hal yang lebih gilanya lagi, sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah. Sebuah kejutan luar biasa yang nggak pernah bisa kuduga sebelumnya.

Kendati demikian, kupikir nggak ada yang salah dengan hal itu. Menurutku, menikmati masa muda dengan bekerja jauh lebih menyenangkan daripada senang-senang dan hura- lhura. Masuk dari satu tempat dugem ke tempat dugem yang lain dan  berkencan dengan cewek random yang nggak aku kenal. Atau lebih parahnya lagi menjadi junkies. Apa untungnya? Kena HIV dan penyakit kelamin, mungkin iya!

Lebih nikmat hidup yang kujalani saat ini. Punya istri cantik yang tetap terlihat seksi walaupun dengan pipi tembam dan perut buncit. Bisa memenuhi kebutuhan lahirku. Meskipun kebutuhan batinnya masih belum terpenuhi, aku nggak mau memaksanya jika bukan dia sendiri yang menginginkan.

"Bar."

"Hmmm?"

"Kadang, aku ngerasa kamu tuh lebih dewasa dari abang kamu."

See?

"Ya, iyalah. Anaknya Marcello Prawirayasa gitu loh. Kalau dibandingin sama Arkha mah bukan cuma lebih dewasa, lebih ganteng juga pastinya."

Frisca tertawa pelan. "Ya ampun... salah ngomong aku kayaknya."

Kami tertawa bersama. Kupeluk tubuhnya dan mendaratkan ciuman lembut di atas puncak kepalanya. Hari ini aku menemukan satu lagi pelajaran yang kudapat, yakni, merasakan kebahagiaan batin itu adalah hal yang tidak semua orang bisa mendapatkan.

***

"Barga, jam setengah enam. Cepetan bangun."

Aku loncat dari tempat tidur setelah mendengar seruan Frisca. Saat aku melirik jam digital yang tergantung di tembok kamar, aku sontak kelabakan. Sial, jam enam kurang sepuluh menit, sedangkan ujian mulai jam tujuh pagi!

Kepalaku rasanya pusing setelah memasuki kamar mandi. Semalaman aku baru tidur jam tiga pagi karena harus menyelesaikan tugas teknik pemrograman dengan membuat flowchart dan programnya.

Di tengah rasa kantuk, aku merasa seseorang membasuh mukaku dengan air hangat sewaktu aku ketiduran sambil duduk di atas kloset. Frisca membantuku mencukur kumis serta bakal jenggot yang sudah satu minggu ini belum sempat kupangkas. Dia pun kembali membasuh wajahku setelah selesai. Aku menarik tangannya untuk memberikan ciuman terima kasih, tapi batal saat aku menemukan sesuatu melingkari pergelangan tangannya.

Sebuah gelang titanium.

Dan aku tahu dari siapa gelang itu.

Sudah lama sekali dia nggak pernah pakai gelang itu lagi. Terus kenapa sekarang dia tiba-tiba pakai lagi gelangnya? Ingatanku mengarah pada kejadian sewaktu aku dan Frisca menonton kartun Masha and the Bear sore kemarin. Frisca menangis sambil melamun. Dia bahkan nggak dengar saat aku berulang kali memanggil namanya.

Pasti dia lagi meelamunin Bang Arkha, dan sekarang dia pakai gelang itu lagi karena dia kangen sama Bang Arkha.

"Udah selesai, sekarang kamu mandi. Aku bikinin sarapan buat kamu." Frisca beranjak meninggalkanku yang masih termenung di atas kloset.

Argh, sial! Memikirkan hal itu membuat mood-ku semakin berantakan pagi ini.

Saat keluar dari kamar mandi, aku menemukan kemeja putih serta celana bahan berwarna hitam sudah siap di atas tempat tidur. Aku melirik jam yang tergantung di dinding kamar, sudah pukul enam kurang lima menit. Aku sempatkan salat subuh lebih dulu. Lebih baik telat daripada tidak sama sekali.

Elegi Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang