7

3.4K 323 34
                                    

Sehari setelah kejadian kemarin.

Melody masih berada di ambang pintu ruang rawat Lidya. Jujur, ia gugup untuk masuk ke dalam. Bertatap muka dengan Lidya membuat ia mengingat kejadian kemarin yang benar-benar diluar dugaannya. Jantungnya terus berdegup kencang.

"Lidya sialan"

"Capek tauk bolak-balik ke toilet terus. Huft"

"Aku gak boleh deg-degan. Aku gak boleh gugup kaya gini. Issh. Aku harus marah. Liat aja nanti."

Bagaikan naruto yang sedang mengisi chakra. Melody mengumpulkan kekuatannya agar bisa membuka pintu dengan tangannya sendiri.

Kreee...ettt

Melody hanya membuka sedikit pintunya, berniat mengintip sebentar apa yang sedang Lidya lakukan. Ternyata Lidya sedang duduk sambil memotong buah apel.

Dengan menarik nafasnya sebentar Melody pun masuk tanpa suara, tidak seperti hari-hari biasanya yang selalu ia mulai dengan sapaan pagi ke Lidya. Melody mulai menyibukkan dirinya sendiri dengan berbagai macam hal dari yang aneh sampai yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Mulai dari mengusap-usap kaca yang terlihat kotor, hingga mengopet-opet cat tembok rumah sakit yang terlihat retak. Lidya yang melihatnya seperti itu hanya diam saja, karena ia juga merasa sedikit canggung setelah kejadian kemarin. Sampai akhirnya dering ponsel menghentikan aktifitas tidak berfaedah Melody.

Melody terlihat senang saat melihat nama yang tertera di handphone-nya. Ia mendapat pesan singkat dari Veranda yang mungkin bisa sedikit mengusir rasa nervousnya kali ini terhadap Lidya selain melakukan aktifitas bodohnya tersebut. Segeralah Melody membuka aplikasi chatnya untuk melihat pesan dari Veranda.

Aku gak mau tau, pokoknya kamu jemput aku sekarang. Kinayyy , udah 3 hari juga kita gak ketemu, kamu gak kangen apa nay ? Huhuhu kangen ="[

Melody memutar matanya sebal setelah membaca pesan dari Veranda. Sudah dapat Melody pastikan jika Veranda hanya salah kirim, tapi Melody tetap membalas pesan tersebut. Agar punya kesibukan.

Apaan sih ve -___-

send.

Melody berharap Veranda cepat membalas pesannya saat ini juga karena Melody tidak punya aktifitas lain yang membuat ia harus terlihat sibuk agar supaya ia tidak berdiam diri dan merasa canggung saat matanya menangkap manik mata Lidya yang diam-diam meliriknya beberapa kali.

Lidya mencoba untuk tetap cuek, tidak peduli apa yang Melody lakukan saat ini. Ia terus memotong apel-apel nya hinga akhirnya....

"Auu..asshhh..ahh"

Suara yang keluar dari mulut Lidya membuat pandangan Melody pun teralihkan pada Lidya yang kini jari telunjuknya berdarah.

Melody yang sedang duduk di sofa pun langsung bangkit ke arah Lidya dan memegang tangannya.

"Lid, kamu...sebentar-sebentar aku ambil plester dulu ya."

Dengan sedikit panik Melody mulai membongkar isi tasnya untuk mencari kapas, plester dan obat merah. Untungnya Melody memang terbiasa membawa barang-barang P3K didalam tasnya, hanya untuk jaga-jaga semisal dia terluka.

Melody pun membersihkan darah di jari telunjuk Lidya dan memberikannya obat merah pada bagian yang luka. Lalu menutupinya dengan kapas dan plester dengan teliti. Lidya yang diperlakukan seperti ini hanya terdiam dan menatap Melody lekat-lekat. Satu sisi dihatinya merasa senang atas perhatian Melody.

"Kenapa gak panggil dokter aja?," ujar Lidya menyadarkan Melody yang masih fokus merawat jari telunjuknya.

"A...aku panik..eh, engga. Aku reflek deh.. Oh iya ya ini kan rumah sakit. Kenapa gak panggil dokter aja ya, hhh."

Heal Me, BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang