-2-

163 20 3
                                    

2. Butuh.

Otakku bergerak lamban sekali. Rasanya sesuatu telah menghalanginya berputar. Sesuatu yang besar dan menyakitkan. Adit tampak menikmati jus alpukat di seberang meja. Mie pedas level limanya pun tampak sisa sedikit. Mungkin dia memang lapar. Mungkin juga, dia malas berhadapan denganku, sehingga menyantap mie kelewat pedas itu terdengar lebih baik.

Kami bertemu di kedai ini Setelah mengantar ibunda berkonsultasi dengan dokter Ian. Dokter itu tadi menyarankan agar ibu di rawat inapkan di Rumah Sakit. Aku sedikit lupa istilah yang di gunakan dokter Ian untuk menjelaskan diagnosa penyakit yang di alami ibunda. Katanya penyakit itu muncul bisa karena faktor genetik maupun sebab dari tekanan di lingkungan luar. Penyakit itu, Menyebabkan ibunda berhalusinasi dan perilaku tidak logis yang ia lakukan selama ini. Aku sudah tahu sejak setahun yang lalu, namun kukira ibunda telah sembuh, sedikit. Ternyata lebih parah.

Adit kini menyesap jus alpukatnya perlahaaan-lahaan. Aku bisa tahu dari pergerakan cairan hijau itu di batang sedotannya. Secara tidak tertulis, Adit memberlakukan peraturan hening ketika kami makan. Jadi melihat caranya menghabiskan makanan yang tampak memperpanjang waktu padahal hanya tersisa sedikit, aku bisa mengambil kesimpulan bahwa, ia bukan malas berhadapan denganku, Adit malah enggan.

Aku berdeham pelan. Mencoba bertaruh dengan keberuntunganku, dan melihat matanya yang beralih dari mie pedasnya ke mataku, kupikir Adit siap mendengarkan maksud permintaanku untuk bertemu disini. Persetan dengan peraturan hening sialan itu.

"maaf memintamu datang hari ini" kataku. Adit berhenti menyedot jus alpukatnya. Ia mendorong piring dan gelasnya menjauh lalu melipat tangan di atas meja. Memasang posisi siap. "aku hanya.. memohon sebuah... keinginan." ucapku terbata-bata.

Sebelah alis Adit tambak terangkat. Jelas sekali raut tidak suka semakin tampak ketika aku mengatakan kata memohon. Namun ia masih menjaga sikap untuk tetap diam dan mendengarkan. "bolehkah aku menelponmu kapan saja?" tanyaku takut-takut.

Air wajah Adit mengeras. Gerahamnya tampak kaku dan bibirnya menipis. "apa maksudmu?" tanya Adit tajam.

Aku tergagap. Lalu mati-matian berusaha mengatur napas dan mengumpulkan nyali. "aku.. hanya butuh teman" cicitku.

"Maya, kamu harus ingat. Hubungan kita telah selesai sejak bertahun-tahun yang lalu dan jangan mengira aku sebodoh itu, aku tahu ini bagian dari usahamu agar aku kembali padamu, bukan?" tuduhnya.

Aku menggeleng keras lalu menjawab "bukan, sumpah bukan. Aku butuh teman. Kamu sendiri tahu, sekarang hanya ada aku dan ibunda, sekarang ibundapun sedang sakit, dan-"

"-dan aku telah memiliki tunangan, Maya, jangan lupa." sambar Adit.

Aku mengangguk lemah "iya, dan kamu telah bertunangan. Mana mungkin aku menginginkan kamu kembali," Kalimatku menggantung ketika aku menelan ludahku susah payah. "aku hanya butuh teman Dit, aku tidak memiliki siapapun. Kamu tahu, setelah lulus SMA aku mengalami banyak kejadian, ayahku meninggal, perekonomian keluarga kami merosot. Beruntung, pamanku mau membantu. Namun tiba-tiba ibunda depresi dan gila." Sial. Aku mulai terisak.

"aku sendirian dan beban ini terlalu berat. Aku tidak pandai bergaul, tidak punya teman. Bertahun-tahun berjuang sendiri, sekarang aku hampir melupakan siapa diriku yang sesungguhnya."

Aku meraih tangan Adit dan mengenggamnya "Tolong aku Dit, Cuma kamu yang aku percaya, Cuma kamu yang tahu bagaimana aku yang dulu." Bulir hangat menuruni pipiku. Secepat kilat aku menghapusnya. Cukup memalukan memohon kepada mantan kekasihmu, jangan di tambah adegan menangis segala! Aku harus menahan malu ketika beberapa pasang mata mengamati kami.

"dengar," itu suara Adit. Ia memajukan tubuhnya mendekat ke arahku lalu berbisik "kamu harus mulai memikirkan untuk mencari seorang kekasih, Maya. Sampai kapan kamu harus bergantung kepadaku? Setiap kamu takut, kamu menelponku. Setiap kamu sedih, kamu menelponku. Kita ini apa memangnya?"

"mohon bersikaplah seperti kawan lama padaku, Dit. Aku tidak dapat mempecayai orang lain."

Adit berdecak kesal. Mulutnya mengumpat tertahan. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi. Mungkin setengah muak dengan betapa keras kepalaku. "kamu tahu, aku membencimu, Maya. Bagaimana aku bisa menjadi kawan lama bagimu?"

"kamu hanya perlu menekan tombol hijau untuk menerima panggilanku." Jawabku sedatar mungkin. Menahan getaran dalam suaraku.

"lalu tunanganku akan menemukan aku menerima panggilan dari perempuan di masa laluku, begitu?" tanya Adit geram.

Aku tahu ia akan menjawab begitu, maka aku mengeluarkan sebuah ponsel dari clutch bag hitamku. "Ini. Telah ada nomor di dalamnya. Ini permohonan terakhirku. Aku hanya akan mengirimkan pesan kesana dan mencurahkan hatiku. Tugasmu hanyalah memastikan baterainya terisi lalu kamu dapat meninggalkan benda ini dimanapun. Terserah padamu. Tanpa kamu harus membaca semua isi pesannya." Aku menyodorkan ponsel itu beserta kotaknya. "simpan benda ini di tempat yang aman agar kekasihmu tidak mengetahuinya."

Adit tampak syok mendengar penuturanku lalu mendengus geli. Ia kehabisan kata-katanya. Adit pun membasahi bibirnya yang kering lalu berkata "bukankah itu membohongi dirimu sendiri? Dan kenapa kamu juga seperti mengajakku membohongi tunanganku, hem?"

"karena aku sudah kehabisan cara agar tetap menjaga keseimbangan jiwaku. Aku hampir gila, kamu tahu? Ibunda bahkan lupa namaku. Dia mengira ayahku masih hidup," Adit tampak tertarik dengan ceritaku. Ia kembali menegapkan tubuhnya. Itu bagus, bukan?

Aku melanjutkan ceritaku, "dan apa kamu tahu, baginya namaku Rianna, dan kamu adalah adikku yang telah meninggal. Dan apa yang lebih gila lagi?" Adit mengedikkan bahunya.

"ibunda bangun setiap jam tiga malam, menggesekkan benda-benda ke meja riasnya, membuat bunyi-bunyi mengganggu lalu mulai menjerit dan meracau. Ibunda menghamburkan barang-barang, berhalusinasi seakan ayahku masih hidup, tadi dokter Ian bilang bahwa ibunda harus di rawat di rumah sakit. Dan itu artinya tambahan biaya. Belum lagi fakta bahwa ada seseorang menyusup ke rumahku tadi malam."

Adit bergeming. Sorot matanya menatap lurus ke arahku, namun hanya ada wajah datar tanpa empati disana. "Adit, kumohon. Bantu aku agar tidak ikutan gila seperti ibunda. Aku akan merasa lebih tenang jika aku mengeluarkan keluh kesahku padamu. Orang yang kupercaya."

"dengan mengirim pesan yang tidak akan kubaca itu?" tanyanya dengan nada menantang. Aku mengangguk tegas. "apa kamu tahu, saat ini aku sedang bersyukur telah terpisah darimu. Kamu memang sudah gila. Sebaiknya cari dokter yang merawat ibumu, lalu berkonsultasi lah."

RENJANAWhere stories live. Discover now