-1-

300 20 3
                                    

1. Bunyi.

KRIEETT... KRIIIETTTT.. KRIEETTT...

Bunyi itu-tepat pukul tiga malam-tujuh hari dalam seminggu-selalu menyapaku. Aku tahu pasti bunyi itu berasal dari mana. Dari kamar sebelah, kamar ibunda.

KRIIETT.. KREET.. KRIEETT...

Bunyi itu bagiku mengandung makna kesepian dan putus asa. Seakan dalam bunyi goresan itu terdengar pula suara erangan penuh luka dan makian kebencian. Kurapatkan selimut tebalku hingga menutupi telinga, berharap bunyi itu enyah, namun sayang, tidak. Kini bunyi-bunyi lain terdengar. Suara jerit tertahan dan suara wanita tertawa. Bersahut-sahutan bersama bunyi goresan. Berdentum-dentum di gendang telingaku.

Tuhan, aku sudah tidak tahan lagi. "cukup ibunda! Aku lelah. AKU INGIN TIDUR!" kubiarkan bentakanku merambat ke kamar sebelah, menyapa gendang telinga ibunda. Dan benar saja, suara itupun berhenti. Aku kembali merapatkan selimut. Menjejalkan kepalaku ke bawah bantal lalu menyugesti diri bahwa bunyi tadi sudah berakhir.

KRIIEETT... KRIEEETTTTT.. KRIEEETTT.... AAHHH.. HAHAHAHA...

Kutendang menjauh selimut tebalku lalu berdiri tegak. Melangkah ke arah kamar ibunda. Ketika kubuka pintu kamar, pemandangan sama yang selalu kulihat setiap malam ada disana. Punggung ringkih ibunda duduk di depan meja rias dan rambut penuh uban terurai. Rambut sepanjang pinggang dan kusam. Di sana sini tampak mencuat dan tidak rapi. ibunda tak acuh ketika aku berjalan masuk ke kamar. Tangannya masih menggesek-gesekkan sisir pada sisi meja riasnya, menimbulkan bunyi krieekkk panjang. Pandangannya menerawang entah kemana. Sesekali tawa jenaka di perlihatkannya. Sesekali ia mengerang frustasi. Perlahan kudekap punggung ringkihnya. Tanganku mengelus puncak kepalanya. Dan ibunda masih apatis. Masih menggesek sisirnya namun berhenti tertawa dan mengerang.

"ibunda, tidur ya?" bisikku di telinganya mencoba membujuk. Ibunda bergeming. "ibunda nanti sakit, mau Maya buatkan susu hangat?" tanyaku lembut. Kata dokter Ian, menghadapi ibundaku memang harus lemah lembut. Harus sabar dan telaten.

Nampaknya usahaku membujuk ibunda membuahkan hasil. Sisir sialan itu akhirnya terlepas dan ibunda mau kupapah menuju ruang makan. Ruangan itu berada di lantai dasar. Butuh perjuangan ekstra untuk memapah ibunda menuruni tangga lalu berbelok ke kanan dan melangkah sekitar lima meter untuk mencapai meja makan. perlahan kududukkan ibunda di meja makan. Pandangannya masih menerawang. Ia tampak menatapi pola gambar berbentuk bunga krisan pada pinggiran piring plastik. Namun kurasa pikirannya tidak disini.

Secepat kilat kubuatkan segelas susu hangat. Kutaruh di hadapan ibunda dan beliau segera meraih gelas lalu menghabiskannya hingga tandas. Ibundaku memang menyukai susu hangat, terlebih di minum pada jam tiga malam. Sedangkan anaknya membenci hal itu. Kupandangi wajah ibunda yang semakin hari semakin menua. Matanya yang dulu berbinar cerah, kini tampak seperti rongga kosong tanpa isi. Kering dan mengawang-awang. Sesekali rambut putihnya bergerak-gerak mengikuti gerakan lehernya.

"aku melihat ayahmu tadi di balkon," kata ibunda yang terdengar menyerupai bisikan halus. Matanya kembali ke arah bunga krisan di piring.

"ayah?" tanyaku yang duduk di kursi di samping ibunda. Kutopang pipi kananku dengan telapak tangan.

"ayahmu datang tadi lalu memanggil bunda dari balkon." Aku mengerutkan kening Lalu menghela napas. Kurasa besok waktu yang tepat bagi ibunda untuk berkonsultasi pada dokter Ian.

"bunda, ayah telah tenggelam di Selat Karimata bertahun-tahun yang lalu." bisikku lembut lalu membelai rambut ibunda.

"ayahmu mati?" tanya ibunda. Ia memutar lehernya ke arahku, Matanya terbelalak lebar. "ayahmu masih ada, kemarin ayahmu menelponku! Katanya merindukanmu juga Adit! Adit oh iya!" ibunda tiba-tiba berdiri. mata nyalangnya menatapku dengan geram. Tangannya memukul permukaan meja makan. "adit itu sudah mati, bukan? Lalu siapa lagi yang akan MATI? HAH?" kaki ibunda kini berusaha menaiki kursi. Tangannya mencoba meraih piring di atas meja lalu menghamburkannya ke lantai. Aku segera memeluk erat ibundaku yang mulai meronta-ronta. "ADIT MATI! AYAHMU MATI! IBUMU JUGA MATI, RIANA!!" jerit ibunda. Mulutnya mengaga lebar dan air liurnya menetes, membasahi lenganku.

"ibu, tenanglah." Kataku, merasa menyesal telah mengingatkannya tentang kematian Ayah. Namun ibuku tetap meronta-ronta, tangisnya pecah. Ia menjerit-jerit "ANAKKU MATI! DAN AYAHNYA MATI!"

Aku segera memapah kembali ibu ke kamarnya. Menaiki tangga lalu masuk ke kamar nomor satu dari kiri. Tubuh ibunda lunglai tak bertenaga setelah setengah jam lebih menangis kuat. Aku mendudukkan ibunda di sisi kasurnya, Kuminumkan sebuah pil yang kudapat dari dokter Ian dan segala tangisan dan jeritan ibunda pun hilang. Bersama dengan tertutupnya mata. Susah payah kuatur posisi ibunda di atas kasurnya. Kuselimuti lalu pintu kamarnya kukunci dari luar.

Dengan melangkah gontai, kakiku menuju balkon yang menghadap langsung ke kolam renang rumah kami. Udara dingin segera menyapaku ketika aku membuka pintu kaca balkon. Rumah kami cukup besar, jika di huni hanya berdua. Rumah tua di pinggiran kota dengan kolam renang dan bertingkat dua. Ayah sengaja memilih rumah ini, karena disini cenderung tenang dari polusi suara mesin kendaraan, juga komplek rumahku cukup aman. Ada sekuriti yang akan berjaga di depan komplek dan senantiasa menutup portal jalan masuk ketika sudah lewat pukul sepuluh malam.

Kadang, setelah terbangun dan membujuk ibunda untuk kembali tidur, aku menghabiskan waktu di balkon ini. Alasan mengapa aku sangat membenci terbangun di malam hari, karena aku selalu di serang insomnia. Pernah ketika insomnia kumat, aku tidak tidur sampai menyaksikan matahari terbit perlahan dari balkon. Mungkin malam ini aku harus menyapa terbitnya matahari lagi.

Kuselipkan jari-jariku ke dalam kantong celana dan segera menemukan sebungkus sigaret yang telah layu. Aku mendapatkan Zippo Armor peninggalan ayahku dari kantong satunya lagi. Ada ukiran tekstur menyilang yang teraba menonjol di permukaannya dan memilki massa yang lumayan berat. Kata ayahku, Zippo ini asli, jika aku berniat menjualnya, keuntungannya lumayan. Namun aku enggan. Apalagi yang tersisa darinya dari pada Zippo tua ini? Selain kebiasaaannya merokok yang menurun padaku, tentu saja.

Sigaret kunyalakan, kuhisap kuat lalu aku menghembuskan asapnya ke alam bebas. Asap itu berkelindan sebentar kemudian hilang di terjang angin. Kubiarkan hening menyelimut sesaat, kemudian kutarik napas panjang dan berat. Seketika aku Tertawa ketika pandanganku jatuh pada foto penampakan penyakit yang di sebabkan oleh rokok di kotak rokoknya.

'we inhale the very thing that kills us, just see we can feel more alive' bukan kah begitu kata Chrissie Pinney? Setiap perokok itu memiliki cerita. Sebelum orang-orang berkata merokok itu dapat membunuhnya, akan kujelaskan, bahwa sesuatu telah membunuhnya terlebih dahulu.

Aku menghisap sigaretku lagi hingga terbakar hampir setengah batang, lalu melemparkan benda itu masuk ke dalam air kolam renang. Angin malam yang kejam rupanya berhasil menyelinap masuk kedalam piyama tipisku. Kurapatkan kerah baju lalu memeluk tubuhku sendiri. Pikiranku menyususun rencana untuk besok hari. Membuat janji dengan dokter Ian lalu menguras dan membersihkan kolam renang kami. Hampir setahun airnya menggenang begitu saja. Pasti sudah tak terhitung hewan dari jenis hewan apapun telah bermemorfosis di dalamnya.

Sebuah siulan panjang menyapa indra pendengaranku. Gemerisik daun kering dari tanaman di dekat kolam renang bergoyang. Aku mengamati dari kejauhan. Siluet hitam tengah mengendap-endap dari rimbunnya tanaman dekat kolam itu, lalu memanjat naik ke atas pagar dan meloncat keluar. Bulu romaku meremang. Siapa itu? Maling kah? Atau pembunuh? Orang jahat? Secepat mungkin aku menutup pintu balkon lalu mengintip lagi dari jendela ke arah jalanan yang nampak dari lantai 2 ini. Dari cahaya remang lampu jalanan, aku dapat melihat punggung tegap sesosok lelaki dewasa dengan jaket berwarna hitam sedang melangkah santai menjauh dari rumahku. Ia berhenti sejenak, meronggoh kantong jaketnya lalu mengeluarkan sesuatu. Rokok. Orang itu lalu menyalakan rokoknya dan berjalan menjauh.

Debar jantungku tak beraturan. Segera aku berlari ke arah kamar ibunda. Kubuka kunci kamar dengan tergesa-gesa. Syukurlah, beliau masih tampak tidur dengan tenang. Aku mengunci kembali pintu kamar lalu melangkah ke kamarku. Meraih ponselku di atas nakas. Percayalah, menelpon seseorang saat ini adalah pilihan terakhirku. Namun aku begitu ketakutan hingga gemeretuk gigiku dapat kudengar. Aku mengusap layar ponsel dan memasukan sebuah nomor yang kuhapal di luar kepala. Setelah dering yang ke enam orang itu menjawab panggilanku.

"Adit, tolong aku."

RENJANAWhere stories live. Discover now