Ardian Denandra left the group.

"Kok pada leave semua sih?!" Pekik Gibran yang berada tepat di sebelah Revan. "Yaudah, gue juga leave."

Anoa arab left the group.

"Gue lelah sama lu." Sahut Revan seraya berjalan ke meja Kara tanpa memedulikan Gibran lagi.

》》》

Kara berjalan menuju ruang osis yang ada di sekolahnya. Lagi-lagi ia disuruh bu Isma yang merupakan pembina osis untuk menaruh berbagai berkas rapat minggu lalu.

Langkahnya terhenti di depan ruangan tersebut. Perlahan, ia membuka pintu ruangan itu. Memasukinya dan menaruh berkas-berkas yang ia bawa di atas meja rapat.

Lagi-lagi matanya tertuju pada foto lelaki itu. Keefan Denandra Husen. Seorang lelaki berwajah tampan yang sangat mirip sekali dengan ayahnya di masa muda dulu. Sesosok kakak yang sangat Kara sayangi. Baginya, Keefan adalah seorang pahlawannya.

Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan. Menutup matanya seraya memutar balik arah menuju pintu keluar. Hingga saat itu juga tubuhnya merasa telah menabrak seseorang.

Kedua kelopak matanya ia buka secara perlahan. "Maaf, Di." Ucapnya setelah melihat seseorang yang berada di hadapannya.

Sang empunya nama hanya tersenyum kemudian memegang kedua bahu Kara. Menatap manik hitam pekat milik Kara secara dalam-dalam. "Kenapa tadi merem-merem gitu dah?" Tanyanya dengan raut wajah polos.

"Hah? Ngga apa-apa sih," jawab Kara dengan keraguan yang tersirat.

Ardian menautkan kedua alisnya, "Let me guess," ia menggantungkan kalimatnya. "Pasti lo keinget Keefan lagi kan? Lo merem karena gamau keinget lagi dan nangis disini?"

Bingo!

Tebakan Ardian benar.

Kara hanya menghela nafasnya sebagai jawaban dari tebakan Ardian. Tanpa harus dibetulkan oleh Kara, Ardian sudah tahu kalau tebakannya itu tepat sasaran.

"Ke rooftop aja yuk, Ra? Gue pernah dikasih tau sama bokap kalo dulu rooftop itu nyimpen kenangannya bokap sama mantannya."

"Om David kakak kelasnya nyokap bokap gue kan ya?" Kara melontarkan pertanyaan itu.

Ardian mengangguk sebagai jawaban.
Selanjutnya, mereka berjalan berdampingan menuju rooftop sekolah. Tentunya hal ini menjadi sorotan para murid Cendrawasih.

Bisik-bisik tetangga, memperhatikan mereka dengan lekat menjadi adegan yang terjadi di sepanjang koridor sekolah Cendrawasih. Kara bergidik ngeri. Ia tak habis fikir, hal apa yang membuat mereka sangat antusias dalam hal seperti ini?

Tanpa Kara sadari, yang membuat mereka berbisik-bisik dan memperhatikannya dengan lekat itu karena seorang Ardian Denandra tengah memperhatikan Kara yang berada di sampingnya. Kadang di beberapa detik, Ardian mengulas senyumannya.

Hingga Ardian mengerutkan keningnya, "Lo kenapa?" Tanyanya.

Kara menoleh ke arah Ardian dengan tampang polosnya. "Hah? Ngga, gue ngeri liat tatapannya cewe-cewe. Hih." Jawabnya sambil menepuk-nepuk kedua pipinya sendiri.

Ardian tertawa pelan, kemudian ia kembali menatap arah depan. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana sekolah. Sesekali matanya memperhatikan gadis yang ada disampingnya dan sesekali memperhatikan langkahnya.

Mereka masih terus berjalan dengan kedua mulut yang masih sama-sama mereka kunci. Tak saling berbicara namun tidak membuat suasana menjadi canggung. Mereka hanya terdiam karena tak memiliki topik apa yang ingin dibahas. Selain itu, mereka terdiam karena mereka memang ingin.

Hingga akhirnya langkah mereka terhenti di rooftop sekolah mereka.

Semilir angin mulai menerpa keduanya. Membuat beberapa helai rambut Kara yang tak terikat berterbangan kesana dan kemari. Sesekali Kara merapihkan helai rambutnya yang menari-nari.

Sedangkan Ardian mengeluarkan kedua tangan dari celana sekolahnya. Setelah itu, ia menopang dagunya menggunakan salah satu tangannya. Memperhatikan beberapa siswa siswi yang lewat di bawah sana.

"Gue suka deh disini," Cetus Kara.

"Why?" Tanya Ardian sambil menatap Kara.

Kara menaikkan salah satu alisnya, "Kenapa lo suka disini?" Tanya Ardian lagi. Memperjelas pertanyaanya.

"Mmm---karna disini asik sih kalo kata gue. Gue sering kesini buat nungguin Revan basket. Ngeliatin anak basket yang lagi latihan, ngeliatin anak cheers yang lagi buat formasi. Kadang gue liatin bu Rahmi yang lagi ngehukum anak-anak gitu," Cerocosnya.

Tanpa sadar, Ardian mengukir senyumannya secara perlahan saat menyimak perkataan gadis yang ada disampingnya ini. Matanya juga tak luput dari menatap manik indah milik Kara. Tatapannya seakan sangat dalam namun membawanya kedalam kenyamanan.

Kara mengakhiri perkataannya dengan kekehan kecil yang semakin membuatnya semakin cantik.

"Lo mirip Lana," kata Ardian secara tiba-tiba.

Kara mengernyitkan alisnya, "Lana?" Tanyanya.

Ardian mengangguk seraya memalingkan pandangannya dari wajah Kara. "Iya. Dia adek gue. Namanya Alana," jeda. "Mata lo mirip Lana."

Kara tersenyum tipis. Perlahan tangannya menepuk-nepuk bahu Ardian. Seakan ia memberikan kekuatan batin untuk lelaki itu. Rasanya Alana begitu sangat berarti. Sama seperti Keefan yang benar-benar berarti di hidup Kara.

Mata Ardian seakan menyiratkan kemauannya untuk menceritakan segala hal tentang Alana.

"Cerita aja," kata Kara yang mengerti dengan tatapan mata Ardian.

Ardian menghela nafasnya. "Bisa gak nanti lo temenin gue ke makam Lana?" Tanyanya.

Kara mengerutkan keningnya. Terlihat tengah berfikir. "Mm--abis pulang sekolah nanti gue mau ke makam Keefan." Katanya.

"Makam Keefan di Tanah Kusir kan?"

Gadis itu mengangguk. "Lana juga di Tanah Kusir. Mungkin kita bisa bareng?" Ujar Ardian.

"Hmm--okay."

a.n

Tuh scene Kara-Ardian.
Lucuan Revan-Kara apa Ardian-Kara, sih?

Hujan & Semesta [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang