Cincin

152 10 1
                                    

"Kau tidak diberitahu Giga, Reol?"

Aku menaikan alisku. pertanyaan Nanahira menarik perhatianku. Memangnya ada apa dengan Giga?

"Memangnya kenapa dengan dia?"

"Bukannya dia bertunangan dengan seseorang?" Nanahira melipat sumpitnya "...dan pernikahannya akan diadakan sepuluh hari lagi."

Nanahira menoleh ke arahku dan menemukan wajahku yang tampak terkejut dan bingung.

"Lebih baik dia yang memberitahumu secara langsung," ucap Nanahira sebelum membungkuk sopan "Terima kasih atas makanannya, dan kuharap kamu akan baik-baik saja, Reol-chan~" 

Tidak peduli, aku kembali menyuap sesumpit ramen panas di depanku. Sekarang aku sendirian dan aku nyaris tidak bisa melepas pikiranku dari pertanyaan Nanahira. Haruskah aku menghubungi bocah itu? Menatap ponsel kesayanganku yang bersebrangan dengan mangkuk, bimbang antara menghubungi Giga atau tidak--

--kenapa aku harus bingung seperti orang bodoh begini?

Tidak, kalau ada masalah sepenting ini, seharusnya aku lah orang pertama yang diberitahu Giga.

Aku meraih ponselku dan menyimpannya di tas, setelah membayar ramen tadi, pikiranku masih saja tak lepas dari pertanyaan Nanahira. Sial, aku berdecak, meninggalkan kedai ramen itu sampai aku menabrak seseorang.

"M-Maaf,"

"Reol!"

Ah, Giga dan senyum bodohnya. Sial.

"Kebetulan sekali aku sedang mencarimu," ia merogoh sesuatu dari tasnya "Tadi aku bertemu Nanahira-san, dan dia bilang kau berada disini!"

Apanya yang kebetulan, bodoh.

"Ini dia!" Dia menyerahkanku sebuah amplop. Mataku melebar, bukan, bukan karena amplop yang membuatku terkejut, tetapi sebuah cincin emas yang bersinar ditimpa matahari tengah tersimpan manis di sela jarinya.

"Apa itu?"

"Oh, amplop ini? In--"

Lidahku kelu "Bukan, tapi ci..ncin itu..."

Tolong jangan katakan...

"Kalau cincin ini---"

Kalau ucapan Nanahira itu...

"Aku bertunangan!"

...benar.

Aku tersenyum pahit, merasakan ribuan jarum menyayat dan merusak jantungku "Oh, begitu." Kenapa kau mengatakannya dengan senyuman bahagia seperti itu?

Tenagaku seperti hilang.

"Sebenarnya aku mau memberi tahumu paling awal, tapi aku malah berakhir lupa."

Lihat, pada akhirnya juga kau akan melupakanku.
Aku berusaha menahan wajah datarku, seakan tidak tertarik.

"Baiklah," aku meraih amplop dari tangan Giga. Ah, ini pasti undangan pernikahan mereka. "Selamat ya, aku permisi." senyumku, penuh kepalsuan.

"Tunggu Reol--"
Giga menarik lenganku. Tapi tidak, aku tidak akan menatapnya.

"--Kenapa kau baik-baik saja?!"
Jangan tatap wajah hancurku, Giga.

"Kau tidak sakit?!"

Kenapa. Kenapa. "Kenapa aku harus sakit disaat kamu senang?" Hentikan, mulut pembohong.

"Sial," Giga meraih amplop ditanganku dan merobek sisinya.

Mataku membulat.

"Padahal aku hanya ingin sedikit mengerjaimu," Giga menepuk jidatnya, sementara aku masih mematung "Tapi sepertinya keterusan ya."

Giga meraih tanganku dan menautkan benda itu di sela-sela jariku. Cincin dengan ukiran dan hiasan emas yang sama dengannya.

"Menikahlah denganku, Reol." Ia tersenyum bodoh.

Tidak.

Kita sama-sama bodoh, Giga.

"Kau kejam, mama."

Story That Made For UsOn viuen les histories. Descobreix ara