3 AM

138 13 6
                                    

"Hei, Reol."

Kedua orang itu saling bertatapan dengan datar. Tidak ada sapaan manis atau olokan dari bibir mereka.

"..."

"Mau putus?"

Ucapan sang pemuda membuat sedikit sengatan pada pundak Reol. Tapi tidak, Reol tidak menangis. Ia masih disana, mempertahankan wajah datarnya.

"Boleh."

Giga mengangguk mendengar jawaban Reol. "Tapi dengan dua syarat." Reol menggantungkan perkataannya dengan bibir bergetar.

Alis Giga menaut, "Apa itu?"

"Cium aku."

"..." Giga mematung. Setelah itu tidak ada yang membuka suara diantara mereka selama tiga menit. "Baiklah."

Giga mendekati tubuh sang gadis, meraih bahu kecil Reol sebelum akhirnya bibir mereka bertautan. Manis sekaligus pahit. Reol sendiri enggan bergerak seinci pun, sampai akhirnya napas mereka nyaris hilang.

"Selanjutnya pipi... dan dahi."

"Kau curang, Reol."
Membuatku ingin bertahan. Tapi Giga tetap menyutujuinya. Ia meraih pipi Reol dan memberikan kecupan kecil disana, agak terganggu dengan aroma helaian rambut Reol yang sudah memanjang. Lalu berpindah pada dahi Reol, Reol menutup kelopak matanya rapat.

"Sudah." Giga kembali ke posisi semula, menatap Reol intens. "Selanjutnya...?"

"Berjanjilah Giga. Jika kau bosan, kau akan kembali lagi ke sini."

Senyum lembut terukir dari wajah Giga, membuat Reol nyaris ingin menangis "Terima kasih atas segalanya, Reol."

Giga mengeluarkan dua lipatan origami berbentui hati, satu berwarna hijau, satu berwarna ungu.
"Kalau aku tidak kembali, kau boleh membuang origami ini,"

Kenapa kita harus putus?

"Atau mendatangiku dan menunjuki origami ini padaku."

Jangan membuatku berharap, bodoh.

"Akan ku pegang kata-katamu." Reol meraih origami berwarna hijau.

"Sudah jam tiga. Selamat tinggal, Reol, semoga kita bertemu lagi."
Giga menyambar tasnya dan berjalan keluar apartemen Reol. Meninggalkan Reol sendiri.

Padahal Reol sudah berusaha untuk tidak menangis.

Padahal jauh di dalam hati Reol, ia ingin menjerit.

"Aku akan menunggu saat-saat kamu kembali, bodoh." Ucap Reol dengan bulir air mata yang tak kunjung berhenti mengalir menuruni pipinya. Menghapus sedikit tanda tak terlihat yang ditanam oleh Giga.

Dari balik pintu apartemen. Giga hanya mendesah kecewa, menundukan wajahnya. Setidaknya kau bisa menolak, Reol.

Giga membuka ponselnya dan menghubi salah satu kontak disana. Setelah nada sambung terhenti dan suara seorang pemuda terdengar, Giga membuka suaranya.

"Luz," Giga menutup kelopak matanya dengan lengan, membendung air matanya "Aku memutuskan untuk mengikuti perang di Vietnam."

Giga berlari menembus dinginnya malam.

Story That Made For UsWhere stories live. Discover now