Dear Incredible,
Welcome to my world!
Semoga bisa jadi hiburan kecil untuk kalian. Dan tolong tinggalkan jejak dengan vote, comment, share.
Enjoy !
***
Sebuah pukulan mendarat di wajahnya. Devan bisa merasakan tubuhnya terhuyung ke belakang dan menabrak meja hingga terguling. Benturan itu menyisakan nyeri berdenyut di sepanjang punggung juga pelipisnya. Seakan belum cukup, pukulan demi pukulan dihujamkan ke tubuhnya tanpa menerima pengampunan. Demi Tuhan, Devan tidak benar- benar mengerti apa kesalahannya sampai dihujani pukulan semacam ini.
"...sat! sialan!" perlahan Devan menangkap sepenggal kata yang dilontarkan. Makian.
Sedetik saat Devan nyaris kehilangan kesadaran, si Pelaku menghentikan serangan. Sebuah irama langkah yang lebih ringan bergegas mendekat ke arahnya. Lalu sebentuk wajah familiar melayang di atas kepalanya. Menyuarakan kekhawtiran. Lembut. Suaranya, sentuhannya. Lalu gelap.
***
Devan kembali mendengar suara langkah mondar- mandir di dekatnya. Lalu percakapan yang sarat akan perdebatan. Ia sepenuhnya ingin melihat apa yang tengah terjadi, namun matanya enggan terbuka. Ada beban kasat mata yang menggantung di sana, menahan agar kelopaknya tetap terpejam.
"Nggak gini caranya... Ken, liat ..." Devan mempu mencium aroma antiseptik dan detik berikutnya ia merasakan sakit yang menyengat di sudut bibirnya.
Namun Devan tak bisa memberi respon, bahkan sekedar mengerang saja ia tak sanggup. Suaranya tertahan di tenggorokan. Seluruh tubuhnya terasa remuk, nyeri, pening menghantam kepalanya tanpa ampun.
"Dia hanya tidur... dengar, dia mendengkur!"
Apa yang sebenarnya terjadi?
Yang terakhir Devan ingat adalah ia terjaga setelah mendengar serangkaian ketukan brutal di pintu apartemennya. Ia masih setengah sadar akibat tidak tidur 50 jam terakhir saat memutuskan membukakan pintu, melihat siapa tamunya. Dan hujan pukulan itu.
"Nah! Lihat dia terbangun!" suaranya berat. Laki- laki. Detik berikutnya kembali terdengar langkah ringan mendekat. Wajah itu lagi.
"Dev?" panggilnya. "Devan."
"Hey..." Devan tak berhasil mendengar suaranya. Wajah itu menghilang sedetik, lalu muncul lagi. Sebuah benda silinder dijejalkan ke bibirnya. Devan menghisapnya hingga cairan segar mengalir dalam kerongkongannya.
"Berlebihan! Aku tidak sekeras itu saat memukulnya!" Suara laki- laki tadi memberikan pembelaan.
"Bangsat!" umpat Devan.
"Nah! Lihat kan, dia baik- baik saja, dia bisa mengumpat!" seru suara itu lagi. Kali ini penuh kemenangan.
"Bangsat kau Ken!" seru Devan. Kalau saja tubuhnya tak senyeri ini, ia pasti sudah menyerang balik si Keneth monyet sialan itu. Tamu tak diundang yang menerobos apartemen dan menghajarnya.
"Diam. Yang aku lakukan ini belum ada apa- apanya dibanding apa yang kau lakukan." Ucapnya, kali ini nadanya dingin penuh ancaman. Lelaki itu menarik sebuah amplop dari balik saku jas armaninya, sebuah undangan. Undangan itu ditujukan pada Devantara Joerel, manusia yang tengah mengumpulkan kesadaran di hadapannya ini.
"Keneth, jangan sekarang." Sela suara lembut tadi. "Tunggu apa lagi?" Keneth berusaha mendebat dengan suara yang jauh lebih lunak.
Devan memilih mengabaikan perdebatan itu. Ia menggapai pada secarik undangan dalam genggaman Keneth. Tangannya masih bergetar saat mencoba membukanya. "Akhirnya berhasil!" Ujar Devan puas tanpa mampu menyembunyikan senyuman di bibirnya. Shit! Lukanya langsung berdenyut nyeri.
"Aku baik- baik saja." Sela Devan saat melihat perempuan itu memandang ke arahnya dengan mata yang sarat akan kekhawatiran. "Harusnya pertanyaan itu untukmu." Lanjutnya sambil memandang ke arah Keneth.
Mata hitam itu balik menatapnya. Kali ini menyipit tak suka. "Aku? Aku baik, sebentar lagi aku akan menikah." Seolah kalimat itu akan menjelaskan semuanya.
"Bahkan dia tidak terkejut. Kamu lihat, dia tidak peduli padamu." Ucap Keneth penuh tuduhan. Ia berusaha keras mencari dukungan atas argumennya. Tapi gadis itu malah tersenyum, entah apa maksudnya.
"Dress code black? Ini acara pemakaman at-?"
"Kau hanya perlu datang dan menghadapi akibat perbuatanmu tujuh tahun lalu."
"Aku tidak pernah memintanya menunggu." Bela Devan yang langsung dihadiahi decak lidah Keneth. Ia sudah ingin meledak. Jangan salah, tujuh tahun belakangan Keneth sudah semakin mahir mengendalikan diri. Namun tingkah kekanakan Devan ini teramat mengusiknya.
"Kau ini gila, bodoh atau apa? Sekarang apa kau sanggup melihat dia bahagia bersama orang lain seperti yang satu ini? Apa kau sanggup menanggung sakit seumur hidup? Tolol!"
"Setidaknya dia bahagia." Devan mencoba menghentikan kalimat apapun yang siap meluncur dari Keneth. Serangkaian kalimat yang tanpa sadar mampu mendenyutkan nyeri. Namun nyeri kali ini bukan akibat dari pukulan si brengsek Keneth.
Sementara itu Keneth sudah tidak mampu menahan diri lagi. Tangannya yang bebas segera melayang ke arah lebam di pelipis Devan. Menekannya sepenuh hati sambil mengumpat. Pemilik lebam itu langsung melolong, mengeluhkan sakitnya.
"Seperti ini saja kau sudah mengeluh. Tolol!" Keneth memilih berbalik pergi sebelum tergoda untuk melakukan yang lebih dari itu. Menyiramnya dengan air raksa, mungkin?
"Pengecut!"
"Ken!" pekik suara lembut tadi. Sayang, sekali ini suara lembut itu tidak mampu menenangkannya. Keneth tidak menyesal, dan ia sangat yakin Devan perlu tau akan hal yang satu ini. Bahwa Devan tidak berubah. Bahwa manusia itu harus tau kalau bukan hanya dia yang terluka.
Sepeninggal Keneth, perempuan itu memilih duduk di samping Devan. Dengan telaten ia membungkus balok-balok es dalam sebuah handuk kecil lalu menekankannya ke wajah Devan. Ia sepenuhnya mempertahankan kelembutan meski ia sangat setuju dengan Keneth. Hanya saja ia tau, Keneth tetaplah Keneth. Keneth tidak pernah bisa menyampaikan apa dimaksudkannya dengan benar. Termasuk kepeduliannya pada Devan kali ini.
"Kau tau, Keneth benar. Ia hanya tidak ingin kamu terlambat." Suara lembut itu kemabli terdengar. Ia buru- buru melanjutkan saat tau Devan hendak menyela. "Bukan hanya kamu yang terluka di sini. Dan aku yakin cuma dia yang bisa menyembuhkan sakitmu, begitupun sebaliknya."
"Apakah dia baik- baik saja?"
"Bagaimana kalau kamu menelfonnya, menemuinya, menanyakannya, ditemani secangkir coklat panas, mungkin? Atau kamu bisa datang, dan mungkin ini akan jadi satu- satunya peluang." Perempuan itu bangkit berdiri. Jemarinya mengusap kening Devan. Usapan itu nyaris seringan kapas. "Jadi?"
Devan mengedikkan bahunya, acuh. "Aku sedang ada proyek baru."
***
Love, the Beast
YOU ARE READING
New Projects!
Teen FictionKalau bisa, dan kalau boleh, Luna memilih menerima segala bentuk kekerasan lalu ikut pergi bersama ibunya daripada harus tinggal bersama ayahnya. Kalau bisa, Conny ingin meyakinkan semua orang bahwa hitam juga warna, bukan sekedar gelap yang ident...
