Chapter 3 : Buku yang menjadi saksi

197 27 3
                                    

Hari itu aku pulang kuliah. setelah mengucapkan salam aku berjalan menuju kamar. Ketika ku buka pintu kamar ku lihat ada ibu disana, ku hampiri untuk mencium tangannya, tapi ada yang berbeda di sana. Terlihat mata ibu sembab seperti habis menangis, hidung dan wajahnya merah, begitu terlihat kusutnya dia hari itu.

"Ada apa bu?"tanyaku. Ibu pun memberikan buku berwarna biru muda padaku. Tidak tahu buku apa itu, buku tebal dengan tinta hitam di dalamnya. Kuraih buku itu dengan rasa penasaran. Kubuka lembar pertama, terlihat gambar seorang perempuan kecil yang sedang ditunjuk-tunjuk dengan pisau. Lembar kedua gambar perempuan kecil yang ketakutan, bersembunyi dibawah ranjang, karena pertengkaran kedua orang tua yang saling membanting isi rumah. Lembar ketiga gambar perempuan kecil yang menangis sendiri di kamar, sambil memeluk kedua kaki nya. Ada banyak gambar perempuan kecil yang tersakiti di sana, dan di lembar-lembar terakhir bertuliskan :

"Kenapa aku harus merasakan kekejaman itu semua?. Dibesarkan dengan hari-hari yang menakutkan. Setiap hari bertanya pada bayangan sendiri, hal apa lagi yang akan terjadi selanjutnya? Aku tidak ingin membangun rumah tangga, karena hanya akan saling menyakiti, dan tidak ada yang boleh merasakan betapa menyeramkannya menjadi anak pertama. Kehidupan keras orang tua saling membenci satu sama lain, seakan menjadi bahan percobaan mereka, bereksperimen membentuk keluarga yang isinya hanya keegoisan semata."

Bisa ku sadari buku biru muda itu adalah milik Kak Flo. Dia menggambarkan masa kecilnya di sana, dan kini ibu yang duduk di sampingku sedang menangis terisak. Ku peluk erat ibu. Sambil menangis dia berkata lirih, "Kenapa harus luka itu yang dia ingat? Bukankah banyak kisah bahagia yang kita lalui juga?" Tanya ibu padaku seolah meminta pembelaan. Tapi bagiku ini lah saat yang tepat untuk membantu Kak Flo.

"Karena bagi kak Flo itu sangat menyakitkan Bu. Kita harus membawa Kak Flo ke Psikiater. Dia harus segera disembuhkan," ucapku pada ibu yang terlihat semakin terluka dengan jawabanku. Kupandu ibu untuk duduk di kasur, tapi dia malah berdiri dan berlalu pergi sendiri menuju kamarnya. Sambil menangis mengingat kejadian dulu di Sepuluh tahun awal pernikahannya.

Ibu mengurung diri di kamar dan belum keluar dari sana, melihat ibu yang sangat tercabik begitu, diam-diam aku juga menangis di kamar. Membayangkan ibu yang sedang memukuli dirinya, mungkin sedang mengutuk masa lalunya, atau juga sedang mencaci pada bayangannya. Malam yang hening ada banyak doa yang ku utarakan.

***

Pagi menjelang, kulangkahkan kaki pergi ke kampus. Harapan demi harapan kubangun di sana. Hari yang sudah menunggu untuk ku isi terbentang indah. Dengan penuh bahagia aku bercanda pada matahari, bahwa kami akan segera berdamai dengan kenangan hitam dan tangisan. sambil mengingat semalam sebelum aku tidur ibu bicara berdua denganku. Mengatakan bahwa besok pagi dia akan menemani Kak Flo ke psikiater, untuk menghilangkan trauma di masa lalu.

Sangat bahagia aku pagi itu, kulantunkan senandung lagu lembut bermainkan nada yang indah, dengan berbagai bahasa kupajangkan nadanya agar semua orang tahu. 'Ya dia kak Floku, setelah ayah dan ibu, kak Flo yang selalu ada untukku. Cuma dia yang tahu saat sekelilingku tak ada yang mampu membaca tangisku. Dia membimbingku ketika kecerobohanku tak bisa terelakkan. Ya dia Kak Floku, yang selalu memikirkan orang lain, hanya tahu cara membahagiakan orang lain tapi tidak tahu cara membahagiakan diri sendiri. Ya dia Kak Floku yang bersahabat dengan ketakutan tapi sebentar lagi akan segera tergantikan oleh hangatnya matahari.'

Tadahan Air Hujan - Ayana (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang