11.

300 21 2
                                    

Gadis tersebut terdiam di depan pintu sebuah kamar bewarna biru dongker. Ia ragu untuk memasuki kamar itu lagi, setelah sekian lama tak berani berdiri di sini, kini ia mencoba untuk mengukuhkan hatinya hanya untuk berdiri di sini.

Tangannya sedikit bergetar terulur memegang knop pintu, sejenak ia menarik napas untuk meredakan dentuman jantungnya. Saat sampai pada knop pintu tangannya berhenti. Tidak...tidak ia tak mampu melakukan ini sekarang. Hatinya memang belum siap kembali ke masa itu.

Tubuhnya meluruh di depan pintu, terlalu sakit sebenarnya bila diingat. Memang ia bisa mengingkari pada semua orang tapi tidak dengan hatinya. Lagi lagi ia terisak, ia ingin kembali. Setidaknya jika waktu tidak bisa di putar, ia ingin sekali hilang ingatan agar rasa sakit ini hilang bersama ingatannya.

🌊🌊🌊

Sinar matahari menyelinap masuk lewat celah-celah kecil di jendela. Namun, sang pemilik kamar nampaknya masih dalam dunia mimpi. Sampai suara alarm yang memekakan telinga membuat ia sedikit terusik.

"Hmm..." ia masih terpejam, tangannya berusaha menggapai alarm di meja. Setelah mendapatkan alarm itu ia melemparkannya ke pojok ruangan lalu ia kembali terlelap.

Belum sampai ia berada di dunia mimpi, kini kembali suara bel apartemennya berbunyi. Ia menggeram kesal. Kini matanya sukses terbuka. Ia bergegas berjalan ke depan pintu apartemennya, ia bersumpah akan mencekik seseorang yang telah mengganggu tidurnya.

🌊🌊🌊

Sial... sial... sial.
Kenapa harus dirinya? Tak henti hentinya ia merutuki nasib sialnya.
Tadi pagi saat ia menyiapkan buku, ia melihat buku pr yang hampir mirip dengan punyanya, sepertinya tadi ia sudah memasukkan buku pr punyanya. Lantas milik siapa buku ini? Ia melihat nama yang tertera di atas buku itu, Rakha Andromeda.

Dan sekarang ia sedang berdiri di depan pintu apartemennya, pintu nomor 124. Kenapa ia merasa familiar dengan angka tersebut?

Rikha menggelengkan kepala menghilangkan pikirannya yang melantur. Segera ia menyelesaikan tugas ini, ia akan memberikan bukunya dan pergi ke sekolah. Untung hari ini sedang diadakan try out sehingga siswa kelas sebelas dan sepuluh masuk siang, seperti dirinya.

Tangannya menekan bel berkali-kali namun tidak ada jawaban, apa Rakha tidak berada di apartemen? Jika iya, ia benar-benar menyesal telah datang kemari, kalau tidak karna gurunya, Pak Bambang yang super duper galak itu.

Ia takkan sudi mengembalikan buku ini. Ia juga bodoh kenapa bisa lupa mengembalikan buku Rakha setelah menyalin catatannya waktu itu.

Sebenarnya bisa saja ia mengembalikan saat bertemu di sekolah namun lagi-lagi sepertinya Tuhan sedang mengujinya, waktu itu Pak Bambang memberikan pr dan ia sangat yakin apabila tidak mengerjakan bisa dipastikan akan lari lapangan sepuluh kali. Dan ia tidak mau Rakha mendapatkan hukuman hanya karnanya. Ia tak pernah didik seperti itu dengan orangtuanya. Beliau selalu menjunjung tinggi tanggungjawab.

Ceklek!

"APA??!!" pintu tersebut dibuka secara kasar, membuat tangan Rikha yang masih menekan bel terdiam kaku. Ia sukses terkejut dengan bentakan tadi karna ia pernah merasa mengalami kejadian in sebelumnya.

🌊🌊🌊

Rakha terkejut begitu mendapati Rikha berada di depan apartemennya. Ia melihat Rikha yang terdiam kaku karna bentakannya. Rakha berdehem untuk menghilangkan suasana canggung ini. "Ngapain lo kesini?" tanya Rakha dengan suara yang masih serak.

Time: DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang