DELAPAN

123K 7.4K 226
                                    

Aku menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan, seraya duduk di atas toilet. Tanganku menggenggam testpack yang masih tersegel.

Menstruasiku terlambat. Bukan hal baru sebenarnya. Jadwal bulananku memang tidak teratur. Terlambat sampai satu minggu pun tidak akan membuatku berpikir macam-macam. Tapi, karena satu bulan terakhir ini aku dan Radit sedang dalam misi mendapatkan anak, aku ingin segera mengetahuinya. Bukan apa-apa. Aku masih... yah, sesekali, minum. Aku tidak mau saja anakku ikut mengonsumsi alkohol sejak dini.

Begitu merasa cukup tenang, aku melakukan tes itu. Radit masih tidur. Aku tidak mau membangunkannya untuk sesuatu yang belum pasti. Ini bukan pertama kalinya aku berurusan dengan testpack. Tapi entah mengapa ini yang membuatku paling gugup. Padahal, kalaupun sekarang aku hamil, statusku sudah menikah. Aku tidak perlu panik.

Setelah menunggu beberapa saat, aku mengecek hasilnya. Benda kotak di tanganku menampilkan garis minus. Negatif.

Oke... jadi aku tidak hamil. Entah aku harus lega atau kecewa. Aku tidak merasakan keduanya.

Aku melempar testpack itu ke tempat sampah seraya berdiri, memilih mandi dan bersiap untuk kerja. Selesai mandi, seperti biasa aku baru membangunkan Radit.

Sejak insiden dengan Christian, aku tidak lagi brniat cari perkara dengan Radit. Setidaknya sampai aku mendapat gambaran akan seburuk apa jadinya. Bahuku yang malam itu dia tekan, terasa cukup sakit setelahnya. Beruntung dia menekanku di kasur, bukan di dinding.

"Wi?" Radit berdiri di ambang pintu kamar mandi, sudah tampak segar, dengan handuk putih membelit pinggangnya.

Aku menatapnya dari cermin meja rias, meneruskan dandananku. "Ya?"

Dia mendekat. "Kamu tes?" dia mengangkat testpack yang tadi kubuang. "Telat?"

Aku mengangguk. "Jaga-jaga aja. Ternyata negatif."

Dia menatap testpack berbentuk segi empat yang masih menampilkan garis minus, kemudian menyandarkan tubuhnya di meja Rias, menatapku. "Kamu beneran udah mau punya anak?"

"Mau ngapain lagi?" tanyaku, tanpa menatapnya. "Udah setahun, flat. Aku pikir kita butuh itu." Aku memoles lipstik, meratakannya, lalu memasukan lipstik yang kupakai hari itu ke dalam tas. Kemudian aku berdiri, menatapnya. "Kali aja begitu aku kasih kamu anak, kamu jadi bisa lihat aku lebih dari sekadar objek seks halal."

Dia mengernyit.

Aku tidak berkata apa-apa lagi, memilih keluar kamar untuk membuat sarapan. Tepatnya, mengeluarkan kotak sereal dan susu cair, serta membuat kopi untukku dan Radit. Aku sedang asyik menikmati sereal dengan susu, sambil memainkan ponsel, ketika Radit bergabung di kitchen island.

"Sereal apa roti?" tanyaku.

"Sereal aja." Dia duduk di depanku, sudah mengenakan pakaian kerja dengan dasi yang belum terikat.

Kami sarapan tanpa suara.

Setidaknya sampai dia yang kembali memecah keheningan. "Sejak kapan kamu ngerasa cuma aku jadiin..." dia diam sebentar, tampak ragu melanjutkan ucapannya.

"Objek seks?" aku membantunya menyelesaikan kalimat.

Dia menatapku, tidak menjawab.

Aku menyelesaikan sarapan, meletakkan mangkuk kosong di bak cuci piring, lalu berdiri di depan Radit untuk mengikat dasinya. "Kapan kamu pernah lihat atau anggap aku lebih dari itu?" tanyaku, tanpa mengalihkan pandangan dari simpul dasi yang sedang kubentuk.

Ekspresinya seketika tampak seolah aku baru saja menamparnya.

"Kenapa kaget?" aku merapikan simpul segitiga sempurna di lehernya, lalu menurunkan kerahnya dengan rapi, dan mengibaskan debu tak kasat mata di kemejanya. "Aku nggak keberatan kok, awalnya. Sekarang aku capek," ucapku, pelan. Aku mengecupnya sekilas, lalu berbalik meraih handbag yang kuletakkan di bar, berjalan menuju garasi. "Have a nice day!"

Re-Tiedحيث تعيش القصص. اكتشف الآن