LIMA

157K 7.2K 307
                                    

Raline Shah as Juwita Ayudiah 😙

Setahun kemudian...

Aku membuka mata perlahan, mendapati sinar matahari langsung menyorot masuk dari tirai jendela yang terbuka. Dengan kesal, aku menarik selimut menutupi kepala.

"Radit... kamu kebiasaan banget sih buka tirai sebelum aku bangun," keluhku. "Silau, tahu nggak sih..."

Tidak ada tanggapan.

Aku menyingkirkan selimut, kembali mengernyit saat sinar matahari membutakan pandanganku. Aku menoleh ke sisi sebelahku. Kosong. Mataku otomatis melihat ke arah jam dinding. Setengah sembilan.

Waw. Pantas saja dia sudah tidak di kamar.

Aku sudah akan kembali menarik selimut, bersiap melanjutkan tidur, saat teringat sesuatu.

"Shit!" umpatku.

Dengan panik aku turun dari kasur, cuci muka dan sikat gigi kilat, laku berderap keluar kamar.

Terlambat.

Ibu mertua dan suamiku sudah duduk di meja makan, menikmati sarapan masing-masing.

"Baru bangun?" sapa ibu mertuaku dengan senyum tipis, sementara matanya menyorot tajam.

Aku menarik kursi di sebelah Radit. "Iya, Bu. Semalam lembur..."

"Makanya... kalau udah jadi istri itu mbok yo diam saja di rumah. Mengurus suami, anak-anak. Kalau jam segini saja baru bangun, suami kamu sarapan apa kalau nggak ada Ibu?"

Aku ingin menjawab kalau Radit bisa membuat sarapannya sendiri, tidak butuh bantuanku. Malah dia lebih pintar masak dan juga selalu menyiapkan sarapan untukku. Tapi aku tidak mengatakan apa-apa, memilih mulai sarapan.

Selama setahun menikah, aku dan Radit nyaris tidak pernah bertengkar hebat, kecuali saat ibunya mulai ikut campur. Beliau rutin berkunjung 3-4 bulan sekali, seolah ingin memeriksa apakah aku sudah mengurus anak laki-lakinya dengan baik.

Well, aku mengurusnya dengan baik di kamar, tapi ibu mertuaku tidak perlu tahu bagian itu, kan?

Setiap kali berkunjung, ada saja yang dikeluhkannya. Rumah berantakan, padahal Bi Rumi, PRT yang kupaksa Radit pekerjakan supaya bisa membantu membersihkan rumah, sudah melakukan pekerjaannya dengan baik. Tapi ternyata itu hanya baik sesuai standarku, yang masih sangat jauh dari standar ibu mertuaku. Lalu berceramah panjang tentang pakaian-pakaianku dan Radit yang di-laundry setiap minggu, berkata kalau itu seharusnya dicuci sendiri, bla bla bla. Di kunjungan kedua, beliau akhirnya tahu kalau aku tidak bisa masak, dan kembali mengomel panjang tentang kodrat istri di dapur.

Awalnya aku berusaha menjadi menantu baik, setidaknya saat beliau datang. Tapi, karena ternyata usahaku sia-sia, berhubung beliau sendiri sudah mencapku buruk, jadi biarkan saja. Radit juga tidak pernah mengeluh padaku. Dia cuma meminta supaya aku tetap sopan pada ibunya, yang sudah kulakukan. Bagaimanapun menyebalkannya, beliau mertuaku, sama seperti orangtua kandungku. Aku belum sesinting itu sampai bersikap kurang ajar terang-terangan. Paling hanya mengeluh dalam hati seperti sekarang.

"Resep gudeg yang waktu itu Ibu kasih sudah kamu praktekan belum?"

Aku diam sebentar, berpikir di mana aku menyimpan resep itu.

Ternyata ekspresiku sudah menjawab pertanyaan ibu mertuaku dengan baik. Beliau berdecak. "Kamu itu... kalaupun nggak bisa masak, setidaknya bisa satu gitu loh. Mas-mu ini suka sekali sama gudeg. Apa susahnya sih belajar?"

"Ra... eh, Mas Radit nggak pernah minta kok, Bu," ucapku.

Yeah. Di depan ibunya aku harus memanggil dengan embel-embel 'Mas', karena kalau hanya dat-dit-dat-dit, itu dianggap tidak menghormati suami.

Re-TiedWhere stories live. Discover now