Setelah banyak drama, akhirnya hari ini datang juga. Aku sempat bersitegang dengan ibu Radit karena beliau ingin melakukan rangkaian adat Jawa, yang kutolak. Permintaan Mama mengenai acara adat pun kutolak. Terlalu riweh, ribet, menghabiskan tenaga. Aku benar-benar malas melakukannya. Tanpa rangkaian acara adat itu juga pernikahanku dan Radit akan tetap sah, kan? Ya sudah. Sejak itu ibu Radit tidak lagi terlalu ramah denganku. Terserahlah. Beliau juga tinggal di Jogja, bukan di sini. Jadi aku tidak perlu terlalu sering memasang topeng menantu baik.

Belum resmi saja sudah ada masalah. Entah bagaimana bentuk pernikahan kami nanti.

Setibanya di hotel. Aku menempati satu kamar suite, yang juga dipesan sebagai kamar pengantinku dan Radit nanti, sementara anggota keluargaku menempati kamar lain. Sarah, Make-up artistperofesional yang akan mendandaniku satu hari ini sudah menunggu di kamar itu. Sarah sudah menjadi langganan para selebriti, aku melihat hasil kerjanya di Instagram sebelum memutuskan memakai jasanya. Dia mendandani kita tanpa mengubah wajah asli. Tidak membuat kliennya seperti memakai topeng. Singkat cerita, hasil kerjanya luar biasa. Jadi aku sangat senang saat berhasil mendapatkan jadwal untuk memakai jasanya.

"Kebayanya cakep lho, Mbak," puji Sarah, melirik kebaya pengantinku yang tergantung di kamar itu.

Aku hanya tersenyum tipis, sementara dia mulai memoles wajahku. Tentu saja kedua kebayaku luar biasa. Harga yang dikeluarkan juga pasti bisa membuat ibu Radit darah tinggi kalau tahu.

Radit juga sudah menyerahkan seserahan sesuai dengan daftarku. Semuanya sesuai dengan keinginanku. Malah dia juga memberi tambahan lain. Make-up dan parsel kebutuhan pokok sehari-hari. Katanya, itu hanya sebagai simbol dirinya mampu menghidupi kebutuhanku setelah kami menikah nanti. Aku yakin kedua barang tambahan itu atas suruhan ibunya. Tapi sudahlah, keluargaku sudah menerimanya.

Waktu seolah berlari hari ini. Tiba-tiba saja hari sudah siang, dandananku sudah selesai, dan aku menunggu di kamar itu dengan TV menyala, yang disambungkan dengan kamera video di ballroomyang kami pesan untuk acara akad dan resepsi hari ini. Radit sudah duduk di meja akad, berhadapan dengan Papa. Kamera beberapa kali menyorot wajahnya. Dia tampak melamun, entah apa yang dipikirkannya. Tadi ketiga sahabatku juga sempat mampir ke kamar ini, memuji penampilanku, melakukan wefie, lalu mereka mendoakan supaya acara hari ini lancar, begitu juga dengan rumah tanggaku nanti, kemudian turun ke ballroom. Aku mulai merasa gugup sekarang.

Acara akad akhirnya dimulai. Aku nyaris tidak berkedip menatap layar TV begitu prosesi ijab kabul dilaksanakan.

Suara lantang Papa pertama terdengar. "Raditya Akbar bin Rudi Gunarwan, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan putri saya Juwita Ayudiah, dengan maskawin seperangkat alat sholat dan uang satu juta rupiah dibayar tunai."

Radit diam, tidak langsung menyambut ijab itu. Tubuhku mulai mendingin. Apa dia mulai menyesali keputusan ini? Apa dia berencana... membatalkan semuanya?

"Maaf," ucap Radit tiba-tiba, seperti baru tersadar dari lamunannya. "Maaf, bisa sekali lagi?"

Aku ingin menangis sekarang. Rasanya mulai menyesakkan.

Ya Tuhan... apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku? Kenapa aku mau-mau saja melakukan ini?

Papa mengulangi ijab-nya, dengan nada yang lebih tegas, nyaris ketus. Aku tahu Papa juga kesal dengan reaksi Radit. Aku mengalihkan pandangan, merasa tidak sanggup menyaksikan kejadian seperti tadi lagi.

Tapi, kemudian aku mendengar suara Radit.

"Saya terima nikah dan kawinnya Juwita Ayudiah binti Surya Suherman dengan maskawin tersebut dibayar tunai." Radit mengucapkannya dalam satu tarikan napas.

Re-TiedWhere stories live. Discover now