Pamit -- Tulus

29 6 2
                                    

"Ihh.. Lo kok gitu sih! Masa lo tinggalin gue di Indonesia? Pokoknya gue ga mau! Ga mau!"

"Gue mau gimana lagi?! Gue dapat beasiswa ke Los Angeles, masa disia-siain sih? Harusnya lo dong yang ngertiin gue! Ini harapan gue! Ini masa depan gue!"

"Jadi gue bukan masa depan lo?! Gitu?!"

Perkataan Clarissa kali ini benar-benar menohok tepat di jantung Thomas.

"Bukan gitu, sayang. Tapi, pendidik--"

"Udahlah! Stop! Kita akhiri aja semua ini, biar kamu pun bisa plong mengejar cita-citamu itu tanpa parasit di sisimu!" Ujarnya lagi dengan penekanan pada kata 'parasit'. Lalu dia pergi meninggalkan Thomas sendiri termenung ditemani lampu temaram dan alunan musik jazz yang terdengar melalui pengeras suara di café Merci.

***

Kilasan balik memori itu selalu hadir dalam tidur Thomas, seorang mahasiswa dari Indonesia yang menuntut ilmu sampai ke negeri Paman Sam, Amerika, tepatnya di Los Angeles. Perekonomian keluarga yang tak seberapa, membuat Thomas tanpa berpikir panjang langsung menerima tawaran yang menggiurkan dari kampusnya yang terdahulu. Thomas memang orang yang tergolong cerdas di kampusnya, sehingga pihak kampus--yang memang pada dasarnya mengadakan kerja sama dengan kampus di negara Paman Sam--itu pun memberikan beasiswa penuh, P-E-N-U-H, kepada Thomas untuk belajar, menuntut ilmu yang setinggi-tingginya di sana.

Pada saat mendengar tawaran yang menggiurkan itu, siapa sih yang tak akan senang? Tak terkecuali Thomas. Girang bukan main dia mendengar kabar gembira tersebut. Sampai...sampai pada saat dia harus memberitahukan semuanya kepada Clarissa, kekasih hatinya.

***

Bunyi alarm dari iPhone Thomas membangunkannya dari mimpi buruknya. Bukan, bukan mimpi tentang monster yang menyeramkan, zombie, apalagi kuntilanak! Tapi, mimpi--kilasan balik lebih tepatnya--tentang masalah percintaannya yang harus kandas akibat cita-citanya yang terlalu tinggi.

Thomas mengacak-acak rambut hitamnya, mematikan alarm yang sedari tadi tak habis-habisnya berkoar. Melalui jendela di kamar apartemennya, dia dapat melihat semburan merah keoranye-oranyean sang raja Siang yang tampak terbit dari ufuk timur. Tak mau menghabiskan banyak waktu, ia pun segera menuju kamar mandi untuk menyiapkan diri menuju kampus kesayangannya itu.

***

Dia memasukkan tangannya yang beku ke dalam kantung jaketnya yang tebal. Di dalam jaket itu, sudah terdapat berlapis-lapis baju dan baju hangat. Ini sudah bulan April, tapi musim dingin masih berhembus sedingin bulan Desember. Ia mempercepat dan memperlebar jangkauan kaki-kakinya, supaya cepat ia sampai ke kampusnya yang hangat. Ya, untuk pergi ataupun pulang dari kampus, ia tempuh dengan berjalan kaki. Untuk menghemat biaya, pikirnya.

Di ujung jalan, dia melihat sepasang kekasih sedang bergandengan tangan menyebrang jalan. Mau tak mau dia teringat lagi dengan Clarissa, sang pacar. Mantan.

Dia mengeluarkan tangan kanan dari kantung jaket untuk melihat arloji. 6:26 AM. Matanya menyorot keatas sambil menunjukkan ekspresi berpikir. Pasti di Indonesia sudah pukul 8:26 malam, dia memberi kesimpulan.

***

Sudah pukul 6 malam. Thomas baru sampai di apartemennya. Tugas yang diberikan dosennya sangat banyak, mengharuskannya lembur di kampus sampai pukul 17.45 untuk mencari referensi di perpustakaan kampusnya yang sangat, sangat besar!

Dia meletakkan tasnya yang berat itu di lantai, lalu tergeletak seperti orang pingsan di kasurnya yang empuk itu. Dia mengambil smartphone dari kantung celana jeans-nya. Dia membuka Instagram. Rencananya sih tadi untuk mem-follow teman-teman seruangannya yang sudah dia catat username-nya di selembar kertas. Tapi alih-alih membuka lipatan kertasnya, ia malah terpaku pada timeline Instagram-nya. Foto paling atas dengan username @Claaa, milik Clarissa, menampilkan foto keseharian terbaru Clarissa. Clarissa dalam foto itu sedang merangkul seorang lelaki, tersenyum lebar sambil melihat ke arah lensa kamera. Thomas ikut senyum melihat Clarissa tersenyum. Tapi apakah hatinya juga tersenyum? Entahlah. Itu urusan Thomas. Tapi baginya, sudah bagus Clarissa mempunyai pendamping baru, yang lebih layak darinya. Bisa ada di saat dia sedih, senang, untuk selama-lamanya. Menjadikannya nomor 1.

***

Thomas teringat kejadian saat di bandara beberapa bulan lalu. Clarissa bersungut-sungut meminta Thomas untuk bertahan. "Aku takut kalo kamu hilang. Aku gak mau kamu pergi, aku masih sayang, aku akan menarik kata-kataku lagi, yang bilang kalau kita putus. Aku tarik! Aku tarik, Thomas! Tapi aku mohon...jangan pergi." Teriak Clarissa sambil menangis seperti anak kecil. Yah, Thomas benar-benar tahu bagaimana Clarissa kecil, sebab ia sudah bersama-sama dengannya semenjak mereka masih SD kelas 1. Sepasang anak Adam itu bertetangga. Setiap hari mereka bermain loncat-loncatan di atas trampolin milik keluarga Clarissa. Setelah itu memandang bintang-bintang dari atas atap rumah Clarissa. Kalau langit sedang gelap, tak ada bintang bertaburan, biasanya mereka bermain ABC 5 Dasar. Hahaha. Benar-benar masa kecil yang indah.

"Ga bisa Claaa. Aku harus pergi, tiket udah dibeli, apartemen udah dibayar, universitas pun sudah menunggu kehadiranku. Tapi--" kataku sambil mengangkat dagu Clarissa dan mengusap air matanya lembut dengan ibu jariku "--kita masih bisa jadi teman baik, kan? Aku janji bakalan rutin balas-balasan LINE sama kamu. Janji." Aku mengeluarkan jari kelingkingku. Clarissa ragu-ragu untuk menjulurkan kelingkingnya. Namun akhirnya dia menempelkan kelingkingnya di kelingkingku dan membengkokkannya mengitari kelingkingku. Akupun berlaku sama.

"Janji." katanya.

***

Yah, walaupun bukan menjadi milik Clarissa dan memiliki Clarissa sepenuhnya, tapi tetap bisa berkomunikasi dengannya saja sudah buatku senang.

===

Fin.

Thanks to : TULUS

-Andita-


#sorry kalo ceritanya gaje,maklum masih amatir#

Feel the Music...Where stories live. Discover now