Prolog

358 6 5
                                    


Dalam keramaian sebuah kelas yang disebabkan sang petuah, guru, belum datang, seorang pemuda dengan perawakan tinggi duduk di bangkunya. Terkadang senyum-senyum simpul terlukis samar dari bibir tipisnya. Angin yang berhembus pelan pun menerbangkan surainya yang kemudian menutupi matanya, matanya yang kini sedang berfokus pada sesuatu hal di sana.

Pandangan kedua irisnya yang berwarna coklat cerah itu tak bosan-bosannya lepas dari gerak-gerik tiga gadis belia di beberapa baris bangku depannya. Sudah dari semenjak dia duduk di kursi itu sampai sekarang ia masih belum mau melepaskan pandangannya itu. Bibirnya yang ia tarik secara periodik itu, matanya yang agaknya berbinar-binar itu, dan barangkali jantungnya yang berdegup sedikit lebih kencang itu, bisa disimpulkan dia sedang jatuh cinta. Ya, tampaknya itu sudah jadi rahasia umum.

Pemuda dengan nametag 'Ega Mahendra Adelfika' itu kini menggerakkan tangannya lalu ia arahkan kedua tangannya untuk menyangga dagunya yang tak begitu lancip. Ia gelengkan kepalanya ke kiri sedikit, dan didapatlah posisi terbaiknya guna menikmati pemandangan yang ada di depan dirinya, pun membuatnya lebih betah berlama-lama dalam keadaan seperti itu.

"Ga." Sebuah pekikan cukup keras menggema, diiringi tepukan tangan di bahu kiri Ega.

Ega pun mengerjap pelan dan mulai meraih kesadarannya yang tadi sempat melayang-layang menikmati pemandangan gadis yang ia sukai. Dengusan kecil sempat terdengar di sana, dan kemudian Ega mengalihkan wajahnya ke sumber suara tadi.

"Apaan, Vent? Dikira gue budek kali sampe teriak-teriak segala," ucap Ega sungkan.

"Kalo suka mah tembak aja kali."

"Taek." Ega membalasnya malas dan mulai melihat kembali bidadarinya. Kini dagunya hanya berpangku pada tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya kini sedang menjentik-jentikan jemarinya di meja.

"TOD yok," ucap Advent lagi, bocah yang tadi memekik keras dan tiba-tiba memberikan titah yang cukup tak masuk akal buat Ega.

+++

Mega hari ini tampil sedikit lebih berbeda. Ya walaupun mungkin hanya dia sendiri yang merasakan itu, tapi memang Mega merasa dirinya berbeda hari ini. Entah brosnya yang baru saja kemarin ia beli di tukang mainan, hijabnya yang berganti warna atau bahkan gincu yang sedikit ia usapkan di bibirnya. Yang jelas Mega memang berbeda, entah apa yang membuatnya ingin berbeda hari ini. Isyarat, 'kah? Atau insting? Mega tak terlalu peduli. Ia hanya memedulikan satu nama yang berhasil terpatri abstrak di hatinya, dan nama itu juga yang diyakini Mega membuat ia hari ini sedikit berbeda. Nama itu adalah Ega Mahendra Adelfika, pemuda yang sedang menguntit dari belakang saat ini, pemuda yang tadi sempat tersenyum saat ia melewati Mega dan dua temannya. Dan itu sudah membuat lebih dari cukup untuk Mega dapat simpulkan bahwa Ega juga suka padanya, seperti Mega suka pada Ega. Ah nama mereka juga hampir sama. Bisa jadi ini pertanda jodoh. Mega berpikir seperti itu.

Tak sadar, pikiran-pikiran itu membuat semburat merah muncul di pipinya yang cukup tirus. Ia terus saja bergossip dengan dua temannya.

"DOTS." Gadis ayu dengan hijab biru tua berkata.

"Itu apaan, Lita?" tanya gadis satunya sembari membetulkan kacamatanya yang kendor.

"Descendants Of The Sun, De. Itu drama hits masa gak tau sih?" kata Mega penuh semangat seakan ingin mempertegas bahwa itu memang drama yang hits sekarang ini.

"Gak tau gue kalo korea-koreaan."

"Itu aktornya yawooh. Ganteng bet. Nyesel lo gak nonton." Mega berkata lagi dengan meletup-letup dan kembali ingin mempertegas bahwa aktor DOTS itu memang ganteng. Namun dalam hatinya, ia tetap jujur bahwa Ega adalah yang paling ganteng meski ia dibandingkan dengan aktor drama itu.

Tebak-tebakan CintaWhere stories live. Discover now