Sejak kecil aku sering ke pasar,
belajar tentang sayur dan ikan-ikan,
jangan pilih yang kelabu matanya,
jangan ambil yang keras batangnya;
pesan ibu,
dan pada pasar berperangai,
hingar-hingar membelah kemesraan ibu,
suaranya semakin sembunyi,
lalu menciptakan jarak bernama kedewasaan.Ibu masih lagi memasung tingkahku dengan kesantunan,
cuma kali ini ia bukan lagi pusaka dari gerobok usang,
bukan seperti lipatan batik, foto-foto lama, dan ingatan yang terpendam,
pesan ibu menjadi semakin kritis,
bicaranya terdengar lewat lengan rapuh,
dan tenung dua mata uzur,
menghanyutkan seluruh emosi ke degup jantungnya,
di dalamnya, aku berpaut.Hari ini aku lihat,
prasangka lebih suka berumah di kepala,
lebih daripada turutan langkah-langkah ritual,
menyalakan api di dinding-dinding,
dari abunya tumbuh sengketa,
dan dari sengketa tumbuh kehancuran,
mujur ibu,
aku tersiram dingin pesanmu,
walau lembut dahiku jarang-jarang mencium tanah,
dan wajah sombongku belum dilurutkan,
aku bukan ikan bermata kelabu,
atau sayur-sayur tua,
dalam hingar pasar.
YOU ARE READING
Ke Puncak Ordinari
PoetryEmosi sebuah gumpalan kertas yang pernah mendiami bakul sampah, kerana dosa lamanya sebagai kewujudan yang banal.