JB | Chap 1

2K 108 3
                                    

C h a p t e r : satu

***

Suara dering ponsel terdengar nyaring, memenuhi ruang kamar berukuran mungil yang sudah sepenuhnya didekorasi tersebut. Hal yang ganjil sekali ada orang yang cukup waras untuk menghubungi Sang Empunya kamar di waktu selarut ini. Tadinya, ia mau mengabaikannya saja. Pikir saja, ia baru sampai rumah menjelang malam karena janji temunya dengan seseorang, jelas suara berisik ini menganggu ritual tenangnya untuk istirahat.

Malas-malasan Keandra meraih ponselnya yang berada di atas nakas. Itu pun hampir gagal karena yang ia gapai malah udara kosong atau pun buku tulisnya tercecer karena ia malas memasukkan kembali ke dalam tas. Dimana sih ponselnya? Dengan suara sumbang ia mulai mendekatkan benda menyilaukan tersebut ke dekat telinga seraya berkata pelan, "Hallo?"

Posisinya yang terlentang malas mendadak berubah. Cepat-cepat ia menyikap selimut tebal yang sedaritadi memeluknya hangat dan rapat. Setelah mendengar lawan bicaranya berbicara panjang lebar, Keandra cepat-cepat bangkit dari atas ranjangnya. "Baik, baiklah. Yah, aku akan tiba disana, kirimi saja alamatnya," ujarnya panik.

Saking terguncang dengan apa yang ia dengar, gadis itu cepat meraih mantel seadanya untuk membalut piyama mickey mouse kesukaannya tersebut. Setelah berlari-lari kecil untuk mencari dimana letak dompetnya akhirnya ia bisa turun ke lantai bawah untuk keluar dan pergi.

Taksi muncul dalam hitungan menit saja yang membuat ia bergegas masuk. Segeranya sang supir itu pun melajukan kendarannya menuju suatu tempat yakni rumah sakit yang ia tahu tidaklah jauh dari sini.

Angin menerbangkan helaian rambutnya cukup parah. Tambahan karena berlari tadi pula, rambutnya jadi urak-urakan hampir menutupi wajahnya yang pucat pasi. Tapi matanya awas dan ia menelisir sekitar untuk mencari keberadaan orang yang barusan menghubunginya dengan setengah terisak.

Orang-orang di koridor rumah sakit jadi berbisik rendah karena melihat Keandra yang tampil nyentrik di malam sedingin ini. Apalagi dengan piyama merah putih yang mencolok dan ia hanya beralasakan sendal tidur lembutnya yang tidak harusnya terekspos ke publik.

Langkahnya jadi terpotong-potong karena tidak kunjung menemukan sosok yang ia cari-cari. "Dimana dia?" tanyanya hampir setengah pasrah. Gila, dia buru-buru kemari seadanya dan berlari layaknya pasien rumah sakit jiwa dan disini ia tersesat begitu saja. Baru semenit, Keandra menunduk untuk menggunakan ponselnya, seseorang cepat muncul dengan napas memburu. "Hei—"

"Lorong depan lalu belok kiri. Ayolah," Orang tadi buru-buru menarik lengan Keandra membuat gadis itu agak sulit memasukkan ponselnya ke kantung piyama kemudian mulai ikut berlari. Saking panik dan terburu-burunya, mereka sampai menabrak beberapa perawat yang tengah bertugas mendampingi pasien. Mereka sontak meminta maaf kemudian kembali berlari melintasi lorong panjang rumah sakit yang masih ramai ini.

"Itu bangkarnya," Ia menunjuk tepat ke arah gerombolan orang yang ramai dimana sang dokter bersama dengan perawat yang banyak tengah mendorong sebuah bangkar yang di atasnya sudah terbaring sesosok itu. "Ayo, Ken."

Moren bukanlah sosok yang dekat dengan Keandra beberapa hari belakangan. Tapi, menyadari adanya dia, Keandra pikir ia hampir punya teman lagi. Pribadinya hangat dan seringkali membuat Keandra tertawa lepas layaknya mereka teman lama yang berjumpa kembali. Bukan di sekolah tempat mereka bertemu melainkan karena Moren adalah tetangga dari Grisel yang membuat mereka otomatis jadi kenal mulai sekarang. Apalagi Moren selalu bercerita soal keluarga Grisel dan bagaimana kehadiran Justin disana. Secara tidak langsung Keandra dapat sedikit informasi dari teman barunya ini.

Saat mereka sudah berhasil mendekat alangkah terkejutnya wajah Keandra. Bisa dipastikan darahnya seakan tersumbat di wajah dan tangannya mendadak menutupi mulutnya yang terbuka kaget.

Bunyi roda semakin keras, beradu dengan lantai pucat rumah sakit menuju sebuah ruangan gawat darurat yang sudah dipersiapkan. Sebuah selang oksigen sudah terpasang, lengkap dengan tabung di sampingnya. Wajah orang ini sudah separuhnya pucat digantikan raut yang siapapun yang melihat bakal langsung jatuh terduduk di tempat. Paling utamanya, selimut tebal yang ia gunakan untuk menutupi tubuhnya sudah berwarna merah semakin pekat. Darah tidak hentinya merembes kemudian menyebar kemana-mana mirip seperti kubangan darah yang berbau luar biasa amis.

"Ken ....," lirihnya terbata-bata dan mulai kehilangan napas.

🎉 Kamu telah selesai membaca Just Breaks (Breaks Series #2) [REPUBLISH] 🎉
Just Breaks  (Breaks Series #2) [REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang