Chapter 9

1.8K 160 3
                                    

18 Mei (Day 15)

Niall

“Ayo caw! Lelet banget sih!” kataku pura-pura marah. Oke, aku tak bisa marah pada Adriane. Mungkin aku cowok yang terlalu baik. Aku memperhatikan Adriane menyentakkan resleting tas ranselnya supaya tertutup.

“Iya iya, emang kita mau kemana sih? Sampe beli makanan segala,” katanya.

Aku tersenyum misterius. “Rahasia dong.”

**

Adriane

Sudah setengah bulan aku mengenal Niall, dan sepertinya dia makin aneh saja. Aku mengencangkan cengkramanku di jaketnya saat Niall ngebut melewati lampu kuning. Aku menoleh ke arah kiri, ke arah tempat lesku dulu. Tiba-tiba aku kangen suasana belajar. Niall berbelok dan.. berbelok lagi.

“Wait wait, Niall! Ngapain ke Balai Kota?!”

Dia berhenti di tempat parkir motor. Aku meloncat turun. “Apa-apaan bawa aku k—“

“Oh, jadi ini tuh Balai Kota? Aku sangka cuma taman aja,” jawab Niall sambil melihat ke sekeliling.

“Iya. Dan kita mau ngapain?!”

Dia memandangku, memberiku cengiran manisnya yang penuh arti. “Aku pengen nyoba makan disini.”

Rahangku serasa jatuh ke lutut. “Maksud—maksud kamu—semacam piknik di Balkot?!”

Niall tidak menjawab. Dia berjalan menghampiri salah satu bangku yang ada di situ dan menaruh ransel seenaknya, seperti Balkot punya dia saja. Aku memutar mata dan bergegas menyusulnya. “Tapi kayaknya aku gak biasa ‘piknik’ disini deh. Gimana kalo ada yang kenal terus liat?” aku panik.

“Biarin, emangnya ada yang peduli?” Niall menghamparkan sesuatu—yang kuduga taplak meja lebar—di tanah. Gila, pikirku. “Lagian sepi kok. Kan sekarang hari kerja. Cepet keluarin makanannya dong, aku udah laper nih.”

Aku duduk di ‘tikar’, di hadapan Niall. Tunggu—aku ingat-ingat dulu. Biasanya ada yang pacaran disini atau tidak ya? Aku menjatuhkan ransel di tanah, diantara kedua kakiku. Lalu aku mengoper makanan ke Niall. Dalam waktu singkat, makanan kami sudah habis dan seperti biasa, kami terjerumus ke dalah percakapan aneh.

Rasanya nyaman, duduk berdua disini, cuma aku dan sahabatku. Dinaungi pohon-pohon dan sesekali angin berhembus meniup poniku. Seolah waktu memutuskan untuk berhenti dan membiarkan kami menikmatinya. Meskipun suara kendaraan yang melaju cepat dijalan sangat menganggu, tapi aku mengabaikannya dengan mendengarkan hanya suara Niall.

Hanya suara Niall.

Baru kali ini aku sadar betapa suaranya enak didengar. Tawanya juga. Aku suka caranya tertawa. Aku suka caranya bercerita.

Aku suka Niall.

Hah?

Aku menggeleng-geleng sendiri, mengenyahkan pikiran itu dari kepalaku. Aku menatap Niall, dan alisnya yang terangkat sebelah.

“Apa?” kataku, menertawakan muka bete-nya.

“Kamu ngedengerin gak sih?”

Engga, karena barusan aku sedang mengagumi suara kamu.

“Dengerin kok.”

**

Author's note

Haii! Maaf yaa udah lamaa banget ga lanjutin/buka wattpad. Aku mulai nulis ff ini pas libur abis UN, dan sekarang udah 1 bulan di SMA masih aja belom kelar hehe. Jadii soal Balai Kota, maaf kalo agak agak aneh. Aku gatau tempat apa lagi buat piknik, dan sebenernya aku juga ga yakin sih BalKot tuh suka dipake piknik, tapi kata ibuku iya.

Dan buat chapter chapter selanjutnya aku usahain bakal lebih panjang dan rame dan romantis. Niall bakal lebih terbuka sama Adriane, dan aku juga pengennya lebih banyak lebay, soalnya pas baca ulang kok ff ini flat banget yaa.

Tapi makasih banyak buat yang nyempetin baca, ilyy!

30 Days of Niall [Adriall #1]Where stories live. Discover now