Raisamembelalak. "Pak Amin, please. Buka gerbangnya, please! Ga lucu!" ia menggedor-gedor gerbang tersebut. Pak Amin masih tersenyum. "Tunggu disini, ya." lalu ia pergi, mungkin untuk memanggil guru.

"Goblok! Ah, bego kan lu!" seru Maulana tiba-tiba. Raisa yang kaget melompat sedikit. "Seharusnya tadi kita masih bisa lolos, kalo aja Pak Amin ga ngeliat kita, ah dodol kan. Dah telat sekarang. Mampus kita berdua," suara Adimas melunak,  tetapi masih ada nada kemarahan dalam suaranya. 

"Yaudah sih, sorry. Gue lupa kita bisa lewat belakang."  Raisa mencibir. Adimas mendesah, menggeleng-gelengkan kepalanya. "Whatever, dah telat. Walaupun kita bisa masuk, dah ketauan duluan ma Pak Amin. Ga mungkin ga dilaporin." 

Raisa mengangkat bahu. "Yaudahlah, lebih mending pergi sekarang dari pada Pak Amin balik ama guru terus ngeliat kita. Bisa aja ntar dia ceming terus gurunya nganggep dia boong. Ayo ah,"

Saat Raisa dan Adimas ingin beranjak pergi, mereka melihat seorang perempuan menggunakan seragam PBIS yang turun dari ojek online, lalu mengumpat dalam bahasa Inggris. "Oh no, no, no, no, crap!" ujarnya panik. 

 Raisa dan Adimas memperhatikan perempuan yang belum pernah mereka lihat itu dengan bingung. Perempuan itu memiliki rambut sepanjang siku yang berwarna cokelat, kulit yang bisa dibilang melebihi standar kulit putih Indonesia, dan ia memakai sepatu yang berwarna biru toska mencolok. 

Mereka berdua bertukar tatapan, mengetahui bahwa nyawa gadis ini akan melayang secepat ada guru yang melihat sepatunya, ditambah ketelatannya. Raisa memutuskan untuk menghampiri perempuan itu. "Hei.. kok gua belom pernah liat lu ya, sebelumnya?" 

Perempuan itu tersentak melihat Raisa, lalu Adimas. Sepertinya ia sedari tadi tidak menyadari keberadaan mereka berdua. "Aku murid baru. Hari ini hari pertama aku." jawabnya. Raisa dan Adimas melongo. "Hah? Serius lo? Murid baru?!" 

 Raisa dan Adimas bertukar tatapan lagi. "Kalo lu sampe ketauan telat di hari pertama, mampus dah lo! Ditambah warna sepatu lo! Gua siapin perkamakam lo, ya." Raisa menyikut dan melototi Adimas sesudah ia mengatakan itu. Muka murid baru tersebut makin panik, dan ia cemberut. "Ga boleh ya?" 

"Ya jelas kaga! Sepatu disini harus item, gimana sih! Gaada yang kasih tau lu? Astaga, metong lu.  Kalo sepatu lu bukan item terus ketauan, disita. Walaupun ga ketauan guru pasti ada senior yang laporin. " perempuan itu mengerang. "Aku kan murid baru!" Adimas menggeleng-geleng kepalanya. "Ya tetep aja! Yaudahlah yak, good luck. Berharap aja lu anak XI-4 ato ga yah, lu mati."   

"Wait, where are you going?" ujarnya dengan spontan dalam bahasa Inggris. Adimas mengabaikannya dan tangan Raisa untuk segera pergi sebelum Pak Amin kembali. 

 "Dim, dia ga dibawa aja? Kasian lah, baru hari pertama." saran Raisa. Adimasmenggelengkan kepalanya. "Bodo, bukan urusan gua." Raisa langsung melepaskan tangannya dari Maulana. "Gada rasa kasian apa lu, gila?!? Dia anak baru, woy! Dan dia telat dalam hari pertamanya! Lu kata Pa Rocky bakal apain dia? Dibakar bisa kali." 

Murid baru tersebut menatap Raisa dan Adimas dengan penuh harapan. "Kenapa? Kalian tau jalan pintas ya? Please, bawa aku!" Raisa langsung melirik Adimas dengan merajuk. Ia mendesah. "Fine. Murid baru, ayok. Gercep." 

"Gercep apa?" tanyanya dengan polos. Adimas melemparkan tatapan mematikan terhadapnya, sementara Raisa menggigit bibirnya agar tidak tertawa. Astaga, polosnya. Dia bule kali ya? Dari tadi ngomongnya Inggris, sekalonya ngomong Indo pake aku kamu. Terus warna rambut dan kulitnya gak natural buat orang Indo. 

Ia tersentak dengan tatapan Adimas. "Oke, oke, no questions, I get it." Adimas memutar bola matanya lalu mulai berjalan tanpa menunggu Raisa atau perempuan itu. Ninis juga mulai berjalan, tetapi ia menunggui murid baru tersebut. 

I Know PlacesWhere stories live. Discover now