Part 6

73.6K 4.9K 59
                                    


Mami Clara menekan sebuah nomor lalu menempelkan ponselnya di telinganya. Terdengar nada sambung sekali, dua kali, hingga akhirnya pada nada sambung ketiga telepon itu diangkat.

"Rick, tolong ke rumah tante sekarang ya." Mami Clara terdiam sebentar. "Oke. Tante tunggu. Terima kasih."

Mami menghela nafasnya dan menatap putri tunggalnya yang terbaring lemah di tempat tidurnya. Apa yang sebenarnya terjadi sampai kamu pulang dalam keadaan basah hingga sakit seperti ini?

Suara erangan keluar dari bibir Clara. Dengan segera mami menghampiri Clara.

"Kenapa sayang? Ada yang sakit?" tanya mami.

"Mi..num..mi" jawab Clara dengan susah payah. Bibirnya terasa kering, tenggorokannya sakit, belum lagi seluruh tubuhnya lemas dan seakan api besar sedang melahap tubuhnya.

"Minum? Sebentar mami ambilkan ya." Mami mengambil gelas kaca berisi air. Lalu menyodorkan sedotan yang berada di dalam gelas itu sehingga memudahkan Clara untuk minum dalam keadaan berbaring.

Setengah jam kemudian terdengar ketukan pada pintu kamar Clara.

"Masuk" seru mami Clara.

"Pagi tante, bagaimana keadaan Ara?" tanya Ricky, sepupu Clara yang berprofesi sebagai dokter. Ricky cukup dekat dengan Clara. Ia sudah seperti kakak bagi Clara.

"Kenapa Ara bisa sakit seperti ini tan?" Ricky mulai memeriksa Clara dengan stetoskop yang ia pakai.

"Pagi Rick. Terima kasih sudah mau datang," ujar mami Clara.

"Tidak apa-apa tan. Kaya sama orang lain aja," Ricky tersenyum lembut. Kebiasaan seorang dokter untuk menenangkan pasiennya.

Mau tidak mau mami Clara ikut tersenyum. Ia sedikit merasa lega dengan kedatangan Ricky.

"Tante tidak tahu Rick. Semalam ia pulang dalam kondisi basah. Tante tanya Ara hanya diam saja sambil berlalu masuk ke kamarnya dan tidak keluar lagi sampai pagi."

Mami Clara melanjutkan ceritanya, "Tadi pagi ketika tante hendak membangunkan Ara, namun tante menemukan Ara sudah terbaring tak sadarkan diri di lantai sebelah tempat tidurnya. Makanya tante langsung menghubungi kamu."

Setelah mengukur suhu tubuh Clara, Ricky merapikan alat-alatnya. Lalu ia memberikan suntikan vitamin pada lengan Clara.

"Clara demam tan, suhunya tiga puluh sembilan derajat. Ini obat yang harus ia minum tiga kali sehari." Ricky menyodorkan selembar kertas berisi resep obat. "Aku sudah memberi dia suntikan vitamin agar tubuhnya sedikit lebih kuat. Tapi bagaimanapun Clara harus mengisi perutnya dengan makan bergizi juga tidak lupa memakan obat yang aku berikan dan ia membutuhkan istirahat yang cukup. Satu lagi jangan biarkan dia memiliki banyak pikiran."

"Oke. Tante mengerti. Sekali lagi terima kasih ya Rick. Maaf tante merepotkan kamu."

"Nggak apa-apa kok tan. Tenang saja. Kalau begitu aku permisi dulu ya. Aku harus kembali ke rumah sakit. Salam buat Ara jika dia sudah pulih."

Mami Clara mengangguk dan mengantar keponakannya keluar. Lalu ia meminta sopirnya untuk membeli resep obat dan menyuruh asisten rumah tangganya memasak bubur untuk Clara.

***

"Gue sedikit kasihan sama cewek kemarin. Dia cukup lama berdiam diri di bawah hujan. Gue nggak nyangka lho kalau Andre bakalan setega itu," ucap Gita yang sedang makan siang bareng Jo.

Jo menyeruput jus alpukatnya dan berkata, "Gue sih nggak mau ikut campur urusan cinta Andre. Gue cuma bisa bilang bodo aja tuh cewe ngarepin Andre. Selama lima tahun gue kenal Andre, itu anak memang udah dingin sama cewek dari sononya. Pertama kali ketemu dia, gue kira ini anak nggak doyan cewek. Secara semua cewek cantik yang mencoba ngedeketin, dia tolak semua. Bingungkan lo? Apa lagi gue saat itu," cerocos Jo.

"Serius lo?" Gita menyipitkan matanya ketika mendengarnya. Tidak menyangka Andre yang lembut pernah dingin sama semua cewek.

"Yup. Kalau lo nggak percaya lo boleh tanya doi langsung tuh." Jo menunjuk ke arah pintu masuk dengan dagunya. Di sana Andre baru saja masuk ke dalam kedai kopi itu dan berjalan ke arah mereka. Biasanya mereka suka makan siang bareng sesekali. Dan hari ini tidak termasuk di dalamnya.

Refleks Gita langsung menolehkan kepalanya dengan cepat. Maklum takut ketahuan lagi menggosipkan bosnya sendiri.

"Gila lo Jo! Bilang dong kalo sasaran udah mendekati lokasi," ujar Gita seakan ia seorang detektif.

Jo yang mendengarnya hanya tergelak saat melihat Gita yang mendadak panik. Takut jika Andre mendengar semuanya, karena ketika wanita itu menoleh Andre sedang berjalan mendekati tempat duduk mereka. Karena kedai itu tidak terlalu besar, dari tempat duduknya saja Gita dapat mendengar cerita pria yang duduk di belakangnya. Padahal, Andre baru saja masuk. Memang Jo saja yang usil.

"Hei..." sapa Andre yang sudah duduk di sebelah Jo. "Seru amat nih ceritanya sampai suara ketawa Jo udah mirip kuntilanak begitu."

"Enak aja lo Dre!" Sekarang gantian Gita yang ketawa.

Tak lama seorang pelayan datang menanyakan menu yang akan Andre pesan. Setelah mengatakan pesanannya pelayan itu pergi. Beberapa menit kemudian ponsel Andre berbunyi. Andre melihat nama yang tertera di layar ponselnya dan langsung menarik lambang hijau pada layar ponselnya.

"Udah ketemu kedainya?" tanya Andre. Jo dan Gita hanya terdiam ketika mendengar percakapan Andre dengan seseorang yang sedang terhubung dengan ponselnya.

"Okay. Aku duduk di sebelah kanan. See u soon," Andre mengakhiri pembicaraannya. Ketika Andre menatap dua orang yang ada di dekatnya, ia dapat melihat dengan jelas tanda tanya dan sekaligus rasa ingin tahu pada wajah mereka. Tapi Andre mencoba menghiraukan kedua rekan kerjanya. Dan untunglah pelayan kedai itu datang untuk mengantar makanan dan minuman yang dipesannya tadi. Hingga pada akhirnya Gita dan Jo hanya mampu mengangkat kedua bahu mereka dan melanjutkan makan siang mereka.

Terkadang dalam sela makan, mereka bertiga terlibat pembicaraan serius pekerjaan. Bagaimana pun mereka adalah satu tim, sehingga mereka harus sering-sering bertukar pikiran.

Tak lama kemudian bel kedai berbunyi. Menandakan bahwa seseorang telah memasuki kedai. Seorang gadis cantik terlihat sedang mencari seseorang. Ia menoleh ke arah kanan sesuai dengan instruksi yang diberikan tadi. Ketika ia berhasil menemukan sosok yang dicarinya, gadis itu berjalan dengan senyum manis yang terukir jelas di bibirnya.

"Hai.." sapa Sonya ketika ia sudah berada di meja Andre, Gita dan Jo.

"Hey.." jawab Gita dan Jo berbarengan.

"Hai, mudahkan menemukan lokasi kedai ini?" tanya Andre yang mengayunkan tangannya mempersilahkan Sonya duduk di sebelah Gita. Karena hanya kursi itu yang tersisa kosong.

"Iya. Benar kata kamu. Tapi aku parkir mobil aku di kantor kamu. Nggak apa-apa, kan?" Pelayan yang tadi datang menghampiri Sonya dan menanyakan apakah gadis itu sudah siap memesan makanan. Sonya pada akhirnya memilih minuman cappucino latte sebagai pilihannya. Lalu pelayan itu mengangguk dan pergi meninggalkan meja mereka.

"Dre, kayanya gue ma Jo duluan ke kantor ya," ucap Gita tiba-tiba. Jo sempat bingung namun Gita menendang kaki Jo sehingga pria itu hanya ikut mengiyakan perkataan Gita.

"Oh...ok. Gue nanti nyusul belakangan sama Sonya. Bill-nya nanti biar gue aja yang bayar."

"Serius lo, Dre?" Andre menganggukkan kepalanya. "Tau aja lo gue lagi butuh bala bantuan di tanggal seperti ini. Thank's bro!" Jo lalu memeluk Andre. Tapi kalau tahu Andre yang bayar, gue mestinya makan yang banyak tadi. Telat kasih info nih anak, sesal Jo dalam hati.

"Jo! Tolong lepasin gue sekarang atau gue tarik omongan gue." Sonya dan Gita tertawa kecil melihat tingkah laku dua pria dewasa ini.

Refleks Jo langsung melepasnya dengan bibirnya yang tersenyum lebar. Setelah acara pamit, sekarang tinggalah hanya Andre dan Sonya.

"Oh iya, ada hal apa yang ingin kamu bicarakan denganku sampai kamu datang ke sini?" tanya Andre.

Sonya memajukan tubuhnya dan menumpukan kedua tangannya di atas meja.

"Dre, aku mau balikan lagi sama kamu."

***

Warm Heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang