SABOTASE

9 0 0
                                    

     Aku makan dengan tidak bernafsu, meskipun porsiku paling banyak. Aku memang butuh banyak makan saat seperti ini. Kemudian, tak lama kemudian, Pak Ridwan datang. Keluarga Pak Johardin –yang ternyata sangat mirip dengan Pak Johardin- berbasa-basi tentang kedatangan kami, dan tentunya hasil lomba itu. Aku malas mendengarkan, sangat malas. Dan merasa bersalah sebenarnya. Tapi ada yang aneh...

"Bune ta, wara ma tembus aka Mataram?" pertanyaan orang yang mirip Pak Johardin –aku lupa orang ini adiknya atau kakaknya- yang sangat tidak ingin aku dengar. Pak Ridwan tersenyum, aku yakin dia berusaha menutupi rasa kecewanya yang sangat itu. "De...Wara sebua dou ni. Ma dua na juara tolu. Sia kese ma lao aka Mataram" jawabnya. Aku terhenyak, tidak yakin dengan pendengaranku, apa aku tidak salah dengar? Ada satu orang yang lolos ke Mataram? Siapa? Aku menatap wajah orang-orang yang ada di ruang tamu ini satu persatu. Santri, tampak bingung. Fauziah, juga bingung. Ibu Bibit dan Om Rais...Kok senyum? Sebagai guru, kenapa senyumannya sangat jahil? Pak Anhar, juga tersenyum jahil. Pak Johardin, aku tidak bisa membaca ekspresinya. Dan Pak Ridwan, tersenyum bangga. Aku bingung, kemudian segera melihat ke Ibu Bibit, mencoba mencari jawaban.

"Pak Anhar yang punya ide" katanya kemudian tergelak. Semua yang ada di ruangan ini tergelak. Pak Anhar, yang baru kuketahui ternyata punya bakat sandiwara itu juga tertawa tanpa merasa berdosa. Tapi tunggu dulu, masih ada yang belum tuntas. Siapa yang ditipu? Siapa yang ditertawai? Dan siapa yang lolos ke Mataram?

"Siapa yang lolos ke Mataram?" tanyaku penasaran akhirnya, memberanikan diri membuka suara. Aku masih tidak yakin apakah tadi Ibu Bibit mengatakan kalau yang punya ide adalah Pak Anhar itu kepadaku. "Farah" jawab Ibu Bibit. "Farah?" aku mengulang tak sabar. "Iya, Farah juara 1. Tapi Ibu Bibit dan Pak Rais juga sekongkol" balas Pak Anhar membela diri. Aku tercengang. Antara rasa tak percaya, senang, kaget, kesal, malu, bercokol dalam diriku. Jadi dari tadi aku dikerjain? Baru kutahu ternyata ada guru yang seperti Pak Anhar, sempat-sempatnya mengerjai murid. Kurang kerjaan...

Aku jadi tidak ingin makan, perutku tiba tiba kenyang. Jadi ternyata itu, kenapa tadi Pak Anhar sama sekali tidak berusaha menghibur kami. Tunggu, tapi tadi Pak Ridwan terlihat benar-benar kecewa. Kok bisa? "Pak Ridwan juga ikutan bohong?" tanyaku, agak kurang sopan sebenarnya, tapi aku terlanjur terserang oleh euforia kebahagiaan dan rasa penasaran serta geram. "Saya juga dibohongin sama Pak Anhar tadi" jawab Pak Ridwan. Hah? Pak Ridwan juga dibohongi? Ternyata selain aku, Santri, dan Fauziah, Pak Ridwan juga dibohongi. Pak Anhar benar-benar...

"Tadi wajahnya Pak Ridwan lesu sekali" Pak Anhar menyambung. "De iyoto, kone ndaiku pala di kaaka kai re ni" balas Pak Ridwan. "Ndaiku akana re poda kaina wati tega eda ita. Pala wara la Fara labo la Santri labo la Fauziah rau si akanare" ucap Pak Anhar membela diri lagi.

Percakapan selanjutnya, aku tidak fokus mendengarkan. Aku hanya mendengarnya, tapi sama sekali tidak mencernanya. Aku sibuk memikirkan tentang juara 1, lomba di Mataram...

Meskipun akhirnya ketahuan bahwa juara 5 itu disabotase oleh Pak Anhar, sabotase bercanda maksudnya, dan aku mutlak menjadi juara 1, dengan nilai tertinggi diantara semua mata pelajaran yang dilombakan baik di tingkat MI, MTs, maupun Aliyah yaitu 76, aku tetap tidak bisa melupakan satu hal. Rasa menyesal karena tidak mendengarkan nasihat mama itu tetap menempel, dan merasuk di sukmaku. Aku tidak akan pernah mengulang hal itu lagi. Tidak akan. Ibu Akifah sungguh benar tentang keutamaan berbakti pada ibu. Ah, aku jadi ingin cepat pulang dan sekolah lagi, mendengarkan nasihat Ibu Akifah lainnya, dan kali ini akan mengamalkannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 17, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sistem Kebut Sebulan (SKS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang