Detik Detik

13 0 0
                                    

     Hari-hari berjalan seperti biasa, dipenuhi dengan pelajaran Fisika, pelajaran biasa aku lupakan sementara ini, Ibu Bibit yang menyuruh. Kadang aku belajar sampai larut malam, kemudian besoknya terbangun dengan kepala diatas meja belajar menutupi buku-buku dan soal yang aku pelajari. Kadang aku belajar di ruang tamu sambil makan biskuit gabin karena bosan dengan kamarku. Mama tak henti-hentinya menasehatiku, "Makanya kalau hari-hari biasa juga belajar", "Jangan kalau mau olimpiade baru belajar sampai jungkir balik", "Ilmunya ndak nempel lama kalau Cuma belajar pada saat mau lomba", begitulah bunyi nasehatnya yang sudah berkarat didalam otakku, karena terlalu sering kudengar. Aku hanya mendengarkan, terus belajar, masuk kuping kanan, kemudian keluar lagi melalui kuping kiri. Semoga Tuhan memaafkan dosaku ini.

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, dan sampailah pada hari H. Hari yang dinanti-nanti, mendebarkan, dan menentukan hasil dari usaha dan jerih payahku selama lebih dari sebulan terakhir ini, juga usaha anak-anak lainnya, yang mempunyai mimpi yang sama denganku, memenangkan kompetisi.

Aku, kader mata pelajaran Fisika, Santri kader Matematika, Fauziah kader Biologi, Ibu Bibit pembina IPA, Pak Anhar pembina Matematika, Pak Ridwan Kepala Sekolah, Pak Johardin pemilik mobil, dan Om Rais, suami Ibu Bibit berangkat menggunakan 2 mobil hari ini, mobil Pak Johardin dan Ibu Bibit. Kebetulan, atau mungkin ditakdirkan Tuhan, Om Rais –kupanggil om karena masih keluargaku- yang merupakan kepala sekolah lain, hari ini ada keperluan di Bima, jadi sekalian.

Kali ini, untuk pertama kalinya, kader yang dikirim sekolah kami hanya 3 orang, karena KSM hanya membolehkan satu peserta untuk setiap mata pelajaran. Aku, Santri, dan Fauziah, untuk pertama kalinya merasa senang dan tenang mengikuti lomba di tempat jauh karena: kami bertiga bukan pemabuk perjalanan. Selama ini, kami selalu dihantui rasa jengah mendengar suara mual, padahal perjalanan belum sampai Kecamatan Wawo, kecamatan terdekat.

Sepanjang perjalanan kami tenang tenang saja, meskipun dalam hati dag dig dug karena akan mengikuti kompetisi. Perjalanan kali ini hening, tak ada suara mual, itu sudah lebih dari cukup. Tapi, perjalanan ini memang berbeda, begitu jauh. Setelah melewati rute biasanya, ke Kota Bima, kami melewati Terminal Dara, mobil belum berhenti. Kami melewati Bandara Sultan Salahuddin, mobil belum juga berhenti. Kami melewati jalan raya dipinggir gunung yang juga dipinggir laut, mobil masih belum berhenti. Kami kembali melewati perumahan dan perkampungan, mobil masih terus melaju. Karena lelah menunggu dan mengantuk, aku-pun tertidur. Entah apa yang terjadi pada Santri dan Fauziah, apakah mereka juga tidur, aku tidak tahu.

Aku terbangun ketika pundakku digerak-gerakkan oleh Santri yang duduk tepat di sebelahku. "Farah, bangun! Kita udah nyampe!" tukasnya. Aku mengerjap membuka mataku, ah, Santri kebiasaan. "Santri, kebiasaan deh! Nggak usah teriak-teriak juga, kali! Ini masih jalan mobilnya" ucapku kesal. "Yeey! Siap-siap dulu" jawabnya. Aku langsung sadar, kaget melihat sekelilingku. Mobil-mobil berjejer-jejer, sepeda motor, dan...Sekolahnya bagus! Sangat bagus! Meskipun ini hanyalah MIN, tapi bangunannya berlantai dua, pekarangannya bersih, bunga-bunganya banyak dan terawat, sempurna! Meskipun hanya melihat dari luar, aku yakin perpustakaannya lengkap karena rak-rak bukunya yang penuh dan berjejer banyak terlihat dari luar. Sungguh sekolah impian...Sangat berbeda dengan sekolahku, tak usah diceritakan, intinya kebalikannya. Yah, bagaimanapun juga itu sekolahku, tempatku menimba ilmu, dan tentu saja, begitu-begitu sekolahku merupakan sekolah bonavit di Sape.

Setelah turun, aku, Santri dan Fauziah mengikuti Ibu Bibit, guru lainnya entah sudah menghilang kemana. "Farah, tulis nama lengkap dan mata pelajaran di kertas ini, biar ibu daftarkan" ucap Ibu Bibit ketika sampai di meja panitia. Aku menerima kertas dan pulpen dari Ibu Bibit. "Fauziah, benar kan, nama kamu gini" ucapku sambil menyodorkan kertas yang telah kutulisi nama kami bertiga berikut mata pelajarannya. "Nur sama Fauziah-nya nggak pake spasi" ucapnya. "Oh" balasku. Kemudian aku menyerahkan kertas tersebut pada Ibu Bibit. "Kok saya nggak ditanya?" protes Santri setelahnya. Aku mendengus berlagak kesal, "Apa yang harus ditanyain? Nama kamu 'S A N T R I' doang kan?" jawabku pura-pura kesal. "Hehe" ia tertawa. Humm, memang Cuma Santri yang namanya paling pendek disini.

Kami berdua, aku dan Fauziah adalah pemilik 2 nama terpanjang di kelas. Aku, Farah Febriyani Mantikha, agak merepotkan dan menjengkelkan karena namaku selalu salah ketik ketika mendapat piagam dalam lomba apapun, sejak SD. Dan Fauziah, Nurfauziah Amalia Mubarak, tanpa spasi, baru saja ditegaskan olehnya.

Sedangkan Santri, setiap kali memanggilnya kami telah menyebutkan nama lengkapnya. Tapi aku? Bahkan nama panggilanku tetap saja terpotong huruf konsonan 'H' di belakangnya, karena kebiasaan orang Bima. Aku selalu berharap namaku dipanggil Farahhhhh dengan H yang kentara, tapi teman-temanku selalu memanggil Fara, tanpa H. Hampir sama dengan Fauziah, bahkan dia lebih parah. Nama panggilannya juga ditutup dengan huruf H, dan tetap saja dipanggil Faujia, padahal mereka bisa menyebut huruf Z dengan benar, tapi entah kenapa, memang sudah turun temurun, dan kalau memaksa membetulkan, ujung-ujungnya adalah pertengkaran. Aku dan Fauziah, yang memang bukan orang Bima asli, bukannya sombong yey, kami bukan malas berdebat, tapi kami memang tidak bisa berdebat hal seperti ini, orang Bima-Jawa yang malang...

Tak perlu menunggu waktu lama, kami langsung memasuki ruangan kelas untuk mengerjakan soal. Acara pembukaan tidak terlalu lama, karena kami yang orang Sape, orang gunung kata orang Kota Bima, datang agak terlambat karena jarak yang jauh. Dengan berdebar, aku, Santri, dan Fauziah memasuki kelas masing-masing. Dan, lagi-lagi berbeda dengan lomba sebelum sebelumnya, ternyata kelasnya lesehan. Kami mengerjakan soal dengan duduk diatas karpet, ditemani meja pendek nan mungil untuk mengerjakan soal.

Berkali-kali aku merapalkan doa, setelah mengisi identitas, aku segera menyerbu soal. Dan...Aku senang sekali! Meskipun belum mengerjakannya, aku tahu aku bisa mengerjakan soal-soal seperti ini, aku sudah sering mengerjakannya. Tak perlu waktu lama untuk mengerjakan soal, meskipun ada beberapa soal yang belum bisa kupecahkan, karena cara belajarku yang Sistem Kebut Sebulan. Aku tersenyum kecut, ada benarnya juga kata mama, padahal aku sempat mengerjakan soal seperti ini sekali, tapi hanya sekali, pasti tidak tersimpan baik dalam memori otakku. Tapi tak apa, aku sangat optimis, aku menjawab semua soal karena tidak ada pengurangan poin untuk soal yang salah, tentu saja, berspekulasi. Aku bahkan menghitung peluang dan presentase poinku, lumayan, 90 %.

Bel tanda lomba selesai pun berbunyi, aku keluar masih dengan hati berdebar. Meskipun optimis dengan jawabanku tadi, semuanya tetap tergantung Yang Diatas, kan? Aku keluar dan berkumpul bersama Santri dan Fauziah. Mereka tampaknya sama sepertiku, gugup, optimis, dan begitulah. Kami berbincang-bincang sambil mencari guru-guru, tidak sabar menceritakan soal yang ternyata menurut kami bertiga masuk dalam kategori 'lumayan gampang'.

Tidak seperti sekolah lainnya, MTsN Sape, sekolahku, dan MIN Sumi, yang sama-sama orang Sape dan Sumi belum pulang. Kami menunggu hasil olimpiade itu. Pertimbangannya karena jarak yang jauh, dan guru pembina kami merupakan pengoreksi soal. Pak Anhar namanya, guru dari MTs yang menjadi korektor itu. Guru favorit kami yang suaranya keras itu menjadi korektor. Ibu Bibit juga.

Lomba selesai siang hari. Dan sekarang, sudah ashar, tapi guru-guru belum juga selesai mengoreksi soal. Kami bertiga was was. Menunggu selama ini di tempat seperti ini sungguh membosankan. Kami akhirnya keluar dari sekolah dan berkeliling kampung dekat sekolah ini, refreshing. Tentunya setelah pamit dan mendapat izin dari para guru.

Sistem Kebut Sebulan (SKS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang