Bagian Enam - Emulous Pion

145 17 5
                                    

Anyir darah pekat mendera indera penciumannya.

Di salah satu sudut Dunia Bawah yang terlupakan, seseorang berdiri. Hamparan merah darah tersebar di kakinya. Potongan-potongan tubuh aneh yang tak lengkap tidak lagi tampak berbeda dengan kerikil yang menghambur di atas tanah.

Orang itu berdiri tegak di tengah medan penjagalan yang telah sunyi, gembira di antara percikan darah layaknya anak kecil yang menemukan mainan baru untuk digunakan sampai rusak. Matanya yang seungu batu ametis, berkilat senang sementara dia memainkan sebuah benda di tangannya.

Di hadapan sosok itu, ada sosok lain; jatuh terduduk dengan gemetar mendera sekujur tubuhnya. Sosok kedua tengah menangis, menangisi lengannya yang hilang sebelah, meratapi tubuhnya yang terkoyak, tersedu-sedan sewaktu darah hitamnya mengucur deras tanpa henti. Wajahnya yang serupa kadal namun bersisik kebiruan, kotor oleh bercak-bercak lumpur.

Sosok kedua mengeluarkan suara aneh yang sedikit melengking, berucap dalam bahasa yang tak lagi dikenali oleh siapapun. Tetapi sosok kedua itu tahu, jika sosok pertama yang menggenggam sebilah belati di tangan kirinya, mengerti apa yang dia bicarakan.

Mengerti dan tidak mau ambil pusing.

"Itu harta suku kam—"

Sosok pertama segera menyabetkan belatinya ke sosok kedua, mengakhiri hidup makhluk menyeramkan itu dalam sekali tebas. Pekik jerit makhluk itu seketika kandas tanpa sisa. Darahnya menyembur ke arah sosok pertama, meninggalkan bercak-bercak hitam pada mantel cokelatnya.

Namun sosok pertama itu tidak peduli. Wajahnya yang separuh tertutup oleh tudung, memamerkan seringai puas sementara dia memainkan benda di tangannya, lalu pergi. Menghilang ke dalam portal yang membelah udara kosong, tepat di belakangnya.

"Di mana anak kita?"

Eddien Les Dakkar bertanya pada istrinya sembari membaringkan diri pada sofa panjang empuk kemerah-merahan. Dia memandang langit-langit dengan sebuah senyum yang terukir, membuat wajah tampannya berubah menjadi sesuatu yang akan menciptakan teror pada alam mimpi seindah apa pun.

Si istri, Eddier Yvett Kraddar, menoleh dari rak buku yang tengah dewi itu hadapi dan menjawab dengan suara halus, "Terakhir kali, dia pergi ke tanah kaum Ovwerin untuk mengambil pusaka kita yang dicuri kaum peramal." Sang dewi mengembalikan perhatiannya pada rak tinggi berisi sejumlah pengetahuan dari berbagai jenis dunia. "Setelah itu, aku tidak tahu. Mungkin dia ada kencan dengan salah satu penggemarnya."

"Harta yang kita ambil dari mereka, lalu mereka curi kembali, maksudmu?" Sang Penjaga Takdir bertanya jenaka. Meloncat bangkit dari sofa tempatnya berbaring, sang dewa menghampiri istrinya dengan langkah meloncat-loncat kecil. "Baca apa, sih, sampai kamu mengabaikan suamimu yang lagi bosan ini?"

Yvett Kraddar tertawa hambar, menutup bukunya dan menyambut suami pembosan itu dengan pelukan hangat. "Apa lagi yang ada dalam benakmu, Dakkar?"

"Ratu semesta Astrola, sayangku," suaminya menjawab manis sembari membelai rambut perak dewi itu. "Bukannya akan sangat membosankan, kalau membiarkan bidak sekuat itu diam sia-sia di tempatnya?"

Si istri memandang suaminya lekat, "apa yang kamu rencanakan, Dakkar?"

Suaminya tertawa, "oh, banyak sekali, sayang! Dan kurasa, kali ini Ravine akan mengikuti takdirnya sembari mengumpat kencang." Dewa itu mengecup pipi istrinya dengan penuh kelembutan sembari menelusurkan jemarinya ke sekujur tubuh sang dewi. Dia menggiring istrinya ke arah sofa lalu menumpukan berat badannya ke tubuh si istri, membuat dewi itu serta merta merebahkan diri. "Tapi itu bisa nanti, sementara ini, kenapa kamu tidak menghibur suamimu ini?"

"Karena kamu seperti ini, makanya anakmu senang mempermainkan hati wanita, suamiku," istrinya tertawa lembut, namun membiarkan suaminya melakukan apa pun yang dewa itu ingin lakukan.

The Cursed's Tale #1: Keping Keabadian [Remake, Slow Update]Where stories live. Discover now