Bagian Tiga - Abandon Mask

190 23 30
                                    

"Lama sekali."

Seorang lelaki bergumam kepada dirinya dengan kesal, sebelum meraih cangkir berisi kopi separuh dingin yang berdiam di hadapannya. Disesapnya cairan berwana hitam pekat itu dengan kedua alis bertaut, seolah mempertanyakan apa yang baru saja mengalir masuk ke dalam kerongkongan.

Lelaki itu merupakan lelaki paruh baya yang tidak tampak cocok untuk duduk di dalam sebuah kafe mewah berisi anak-anak muda. Dengan jaket lusuh serta celana kain lawas, lelaki paruh baya itu jelas-jelas menarik perhatian. Dia sendiri merasakannya dan hal itu membuat dia terganggu. Dari sudut matanya dia dapat menangkap gerakan halus pegawai kafe yang berada di belakang bar, sewaktu mereka menolehkan wajah sekedar untuk memastikan dia masih ada di sana dengan pertanyaan tanpa suara.

Dia membuang pandangan keluar jendela, pada hiruk-pikuk perkotaan dengan latar derum kendaraan bermotor serta suara klakson memekakan telinga. Entah sejak kapan, namun dia selalu merasa miris melihat koloni manusia yang memenuhi permukaan bumi dengan ketangguhan hidup seperti kecoak—apa pun yang terjadi, manusia tidak mungkin melambatkan proses evolusi mereka. Dan dia tahu, hal itu menyakiti bumi. Tanah suci buatan Yang Maha Agung, yang takkan bisa diduplikasi dengan cara apa pun.

Pintu kafe terbuka dengan derit pelan, namun cukup untuk membuat lelaki itu mendongakkan kepalanya secepat kilat. Senyum tipis mengembang di wajahnya yang sudah penuh dengan keriput, membuat garis-garis penuaan terlihat makin jelas di sana.

"Wajahmu seperti keset kotor, Ie Oufth."

Adalah kalimat sambutan yang lelaki itu keluarkan sewaktu Ravine mendatanginya di tempat janjian mereka. Lelaki yang tampak seperti pria paruh baya itu kembali menyesap kopi keduanya sembari tersenyum geli sendiri karena kata-katanya. Menjauhkan diri dari bau tembakau yang terbawa angin ke arahnya, lelaki bernama Lyvia Mercier itu menaruh telapak tangannya di atas paha lalu memandang lekat ke arah sang Penjaga semesta Astrola yang kini duduk di hadapannya.

"Merci," balas Ravine dengan nada sindirian sembari menyemburkan asap rokoknya ke arah lain. Sang Oufth duduk tegak di kursinya, gaya maskulin wanita itu serta-merta tampak jelas. Separuh mendongak, tatapannya jatuh pada segelas teh dingin berdiri diam tak tersentuh di hadapannya. Mercier rupanya mengingat fakta kecil dari dirinya yang tak pernah berubah—dia benci kopi.

Wanita itu terdiam sejenak, menikmati hening dengan derum motor memenuhi udara panas siang hari sembari merenungkan kata-kata lelaki di hadapannya. Menyadari kata-kata Lyvia Mercier yang menyatakan kekeruhan suasana hatinya, dia mendongakkan kepala.

Langit negara Indonesia yang ada di 'dunia atas' tampak begitu cerah hingga nyaris membutakan matanya. Awan berarak ceria di sudut langit, sementara matahari duduk congkak tepat di atas kepalanya. Perempuan itu menilik lelaki paruh baya itu. Duduk dihadapannya sang legenda yang namanya dielu-elukan oleh seluruh petinggi semesta Astrola. Bahkan orang tolol pun tahu Lyvia Mercier merupakan sosok yang senantiasa mengawasi pergerakan dunia semenjak jutaan tahun silam. Adalah sebuah kehormatan untuk duduk berhadapan dan berbicara langsung dengannya.

Namun, detik ini, dia tidak merasakan secuil kebanggaan pun atas fakta itu.

"Apa alasanmu menyuruhku ke negara ini, Mercier?" tanyanya dalam bahasa Astrola yang biasa mereka pakai sembari memandang lelaki tua di hadapannya.

Lelaki dengan iris mata kecokelatan itu memandang ke arah Ravine, wajahnya serius. "Merokok di ruang terbuka sudah dilarang di negara asalku, Oufth. Lucu juga, sih, melihatmu yang dipandangi seperti orang aneh sampai seperti itu. Jadi, ada apa?" ujar lelaki itu dalam bahasa Perancis yang kental.

"Dasar mercier, mencium bau bisnis dalam setiap kesempatan," komentar Ravine datar lalu mematikan rokoknya pada asbak kaca yang ada. Kata-kata wanita itu kini terucap beralih menjadi bahasa dari negara Spanyol. Dia menyadari tatapan aneh penduduk 'dunia atas' karena dia masih memakai pakaian kerjanya. Rompi cokelat tanpa lengan di atas kemeja putih dengan bordiran pada kerah berpadu celana kain hitam dan sepatu boot. Bukan pakaian sehari-hari penduduk dunia atas.

The Cursed's Tale #1: Keping Keabadian [Remake, Slow Update]Where stories live. Discover now