"Namamu Amora, oke?"
Aku tidak bisa melihat apa-apa karena pandanganku memang masih gelap. Sedikit demi sedikit aku bisa merasakan tubuhku, kulitku. Tanganku ditekan-tekan dan dipencet sana sini. Jari-jariku direnggangkan satu per satu hingga berbunyi pelan. Pergelangan tanganku diputar dari kiri ke kanan selama lima kali, dan begitupun sebaliknya.
"Aku berharap banyak padamu."
Lama-kelamaan, aku bisa merasakan suhu dingin yang mulai merayap perlahan di sekujur tubuh. Kakiku bisa merasakan dinginnya ubin keramik, dan kepalaku dapat merasakan belaian sayang dari pencipta di hadapanku ini. Sayangnya, aku belum bisa memandang matanya. Tak satupun bagian tubuh bisa kugerakkan.
"Jadilah bahagia, senang, menangislah. Milikilah perasaan-perasaan yang menjadikanmu manusia."
Aku mulai bisa sedikit menggetarkan jari kakiku. Wah, ternyata masih kaku dan keras. Seberapa besarpun usahaku untuk bergerak, hasilnya nihil. Astaga, aku ingin sekali menggoyang-goyangkan kepalaku, dan meloncat-loncat girang dengan kedua kaki jenjangku, dan menari balet dengan kedua lenganku. Tarian tersebut terus bermunculan dalam memori dan pengetahuanku yang sepertinya bertambah banyak. Kesabaranku sudah hampir habis, aku sangat antusias.
"Hmm, prefrontal cortex-mu sudah oke. Kamu sudah mulai bisa berpikir, dan sekarang kau sedang mendengarkanku, bukan?" suara lembut bapak tersebut berujar pelan. Ia membelai pipiku, yang langsung membuat hatiku berdesir pelan.
"Dan lihatlah, syaraf simpatikmu pun berfungsi dengan baik. Jantungmu berdetak, Ra! Kau tahu aku senang sekali melihatmu hidup seperti ini?" intonasinya menaik senang dan sedikit bergetar. Aku rasa beliau meneteskan air mata saking terharunya. Ia terdiam sejenak, sebelum membenarkan posisi-posisi leherku. "Perkenalkan, namaku Handoko Triama."
Handoko Triama adalah nama penciptaku. Aku belum bisa melihat beliau karena indra penglihatanku memang belum diaktifkan, namun aku tahu kalau ia adalah orang yang ramah karena terus mengajakku berbicara. Padahal, aku sering mendengar bahwa aku hanyalah seorang manusia buatan. Hanya sekedar campuran gen-gen dan zat kimia belaka. Entah mengapa, Pak Handoko sayang sekali pada robot berisikan campuran senyawa ini.
"Amora, kau harus tahu bawa amygdalamu juga sangat baik. Kau bisa menonton drama sambil menangis, berteriak heboh saat melihat idolamu, ataupun bersantai mendengarkan musik klasik. Saat ini pun kau sudah punya emosi, Ra." Ujarnya perlahan. Aku merasa sesuatu seperti pita diikatkan pada leherku. Teksturnya halus dan licin. Pak Handoko terkekeh perlahan. "Warna biru manis sekali padamu, Ra."
Di balik suara Pak Handoko, terdengar roda-roda kecil yang berputar kemari. Suaranya rusuh, ditambah dengan suara seorang anak yang berceloteh heboh. "Ngeeeng, ngeeeng!". Pak Handoko yang masih sibuk dengan pita biru di leherku tertawa perlahan. Aku tahu ia menoleh ke belakang dari volume suara yang mengecil. Walaupun terdengar lelah karena selama berhari-hari berada di laboratorium, Pak Handoko tidak pernah berhenti mengajakku berbincang. Beliau pernah mengatakan pada percobaan aktivasiku yang sebelumnya bahwa setiap kehidupan perlu dihargai, sekecil apapun itu.
"Nak Angga, kamu jangan ribut ya disini. Nanti Kak Amoranya pusing, lho." Beliau berkata sembari mengangak mainan beroda milik Angga. Anak laki-laki tersebut memang sering menemani ayahnya di laboratorium tersembunyi di rumahnya tersebut. Terkadang ia bermain dengan kardus bekas, dan kadang juga ia membawa botol kosong sebagai pesawat, Pak Handoko yang suportif seringkali memujinya atas kreativitas putra beliau tersebut. Umur 9 tahun pada seorang manusia memang penuh imajinasi.
"Tapi Pa, Angga bosan dari tadi Kak Amoranya tidur terus." Angga merengek kesal, anak tersebut sedari berjam-jam yang lalu memang jadi diabaikan oleh sang ayah. Aku berusaha membuka mata namun memang belum bisa. Rasanya seperti tertahan oleh gembok yang Pak Handoko ceritakan semasa proses pembuatanku. Bahkan, mengakses dan mengendalikan tombol-tombol pada badanku sendiri saja aku belum bisa. Duh, aku merasa tidak berdaya saat ini.
"Siapa bilang kalau sekarang Kak Amora nggak bisa bangun?" kalimat tersebut langsung membuatku tersentak. Apakah ini saatnya?
"Oke, Amora. Sekarang kau ikuti perintahku."
Sepertinya penyusunan teknis dalam diriku sudah selesai. Aku langsung bersiap-siap dalam hati untuk menikmati dunia baruku. Aku ingin berenang di laut dengan badanku, juga ingin melompat di trampolin dan menikmati angin semilir yang bermain dengan rambut sebahuku. Mungkin seperti anak-anak di taman bermain yang digambarkan memoriku.
"Coba kau sunggingkan sebuah senyum, perlahan-lahan."
Aku mencoba melawan tekanan keras di bibir. Satu, dua, tiga.. aku berhasil menyunggingkan sebuah senyum. Walaupun entah terlihat seperti apa di hadapan Pak Handoko dan Angga. Pak Handoko menepuk pundakku hangat. "Hebat, kau berhasil, Ra!"
Saat baru muncul di dunia, aku sudah langsung bisa mengerti bahasa Indonesia. Aku sudah dimasukkan program kognitif, intelegensi, memori, imajinasi, visual, spasial, naturalistik, musikal, pembahasaan, dan lainnya. Bukan hanya itu, aku sudah diberikan emosi dan hati. Tentu saja, emosi dan hati milik manusia dan bukan milik robot. Pertama kalinya aku sadar, hal yang aku dengar adalah pujian bahwa aku hebat, aku cantik, dan aku berharga. Entah mengapa, aku merasa bimbang namun kuat.
"Amora, kau masih dengarkan aku? Tetap dengan posisi berdiri seperti sekarang ini, kepalkan kedua tanganmu. Kiri dan kanan." Pak Handoko terus memberikan instruksi tanpa jeda napas. Beliau antusias sekali sampai kecapekan gitu.
Aku mengepalkan tangan kiriku dulu. Uh, keras namun berhasil. Setelah memastikan yang kiri terkepal dengan erat, barulah aku beranjak ke bagian sebelah kanan. Ternyata yang kanan malah lebih keras dari sebelah kiri. Pak Handoko menyemangatiku. "Kau bisa, Amora. Tidak ada yang bilang bahwa kau tidak mampu."
Dorongan yang kuat dari Pak Handoko membuatku semakin bertekad untuk menuntaskan operasi penyalaanku ini. Saat aku mengepalkan tangan kanan, aku terus merasa bebunyian aneh yang membuatku merasa sakit. Seperti sendi pada manusia, namun sakit pada manusia buatan sepertiku. Aneh.
"Kak Amora bisa, kok." Angga ikut mengumandangkan suara cemprengnya. Anak itu pasti sedang menatapku dari kejauhan.
Satu, dua, tiga.. tanganku berhasil terkepal semua.
"Ra, sekarang kamu kerutkan wajahmu kemudian pada hitungan ketiga buka mata sambil ucapkan namamu. Oke?" Pak Handoko terus berceloteh sambil tetap menggenggam pelan bahu sebelah kiriku. Aku merasakan tangan besar lembutnya. Rasanya seperti ditepuk oleh ayah sungguhan. Seandainya saja aku betul-betul terlahir sebagai anak Pak Handoko dan kakaknya Angga. Bukan sebagai benda ciptaan yang masih tidak bisa bergerak begini.
"Satu."
Mulutku kesulitan untuk terbuka dan mengeluarkan suara. Begitupun wajahku yang telah berkerut sulit untuk rileks kembali.
"Dua."
Ternyata mulai bisa, otot artifisialku mulai menghilangkan ketegangan, dan pupil mata telah bisa kugerakkan ke kiri dan kanan.
"Tiga."
"Namaku Amora!" Aku membuka mata dan langsung bersuara. Untuk beberapa detik, aku saling bertatapan dengan bapak berkumis lembut dengan kemeja putih dan celana kain hitam kebesaran. Ia tersenyum ramah dan nyaris menangis melihatku. Aku pun ingin memeluknya, hingga tiba-tiba remot di tangannya meledak. Spontan, aku berteriak. Begitupun dengan Angga.
"AAH!"
Kami berdua saling bertatapan melihat sosok Pak Handoko yang menghilang setelah tersetrum dan meninggalkan kemeja dan celananya melayang-layang di udara. Hening.
"Selamat datang, Amora." Suara samar-samar Pak Handoko yang sempat berbicara sebelum menghilang terngiang-ngiang dalam kepalaku. Astaga, apa yang baru saja terjadi. Baru saja aku ingin memeluk ayah baruku.
Angga, anak kecil dengan kaos hitam kebesaran tersebut mulai berkaca-kaca. Aku pun berjongkok dan merangkulnya erat. Seperti kata Pak Handoko tadi, aku harus menjadi manusia.
"Halo, Erlangga. Selamat sore.."
___
thank you for the fantastic cover! :)
uuP/a
YOU ARE READING
Synesthesia
Science FictionTidak seperti kalian, aku bukanlah manusia yang terlahir dari rahim ibu. Tentu saja, aku tidak pernah mempermasalahkannya. Aku diciptakan oleh seorang peneliti hebat dan jenius, serta dibesarkan dan dijaga baik-baik oleh anak laki-laki beliau. Na...
