Sebelas

9.4K 924 22
                                    

spoiler alert: Rate 13+! No kids under 13yo allowed.

Satu tahun yang lalu...

Tubuhku lelah luar biasa. Hari ini, cabang Kahvi di Daan Mogot baru saja diresmikan. Ada acara kecil-kecilan dan potongan harga 20 persen yang mendapat respon luar biasa positif dari para kalangan eksekutif muda yang berkantor di seputaran Daan Mogot. Feed back yang diberikan benar-benar sesuai harapan. Mereka juga mengisi angket sederhana tentang kepuasan dan rata-rata memberikan rating minimal tiga bintang dari lima bintang yang tersedia. Sekarang, keinginanku hanya satu. Pulang, bercerita dengan Omega lalu merilekskan otot-ototku dengan air dingin dari shower yang ada di kamar mandi. Pasti menyenangkan.

Aku membayar taksi dengan cepat, lalu melangkahkan kaki menuju tower kondominium kami. Tanganku mengeluarkan kartu akses dari dalam tas lalu menempelkannya ke mesin pemindai. Warna lampu penunjuk di sisi pintu berubah dari merah menjadi hijau. Gesit, kudorong pintu dan kuloloskan tubuhku. Kutekan tombol lift, yang membawaku menuju lantai delapan. Kondominium yang dibeli Omega untuk kami bernomor 84B. Ada di ujung terkiri, paling pojok. Kondominium itu tidak terlalu besar. Tapi, cukup untuk kami. Ada satu kamar utama, tempat aku dan Omega tertidur nyaris tiap malam. Kamar itu diisi sebuah ranjang king, lemari besar dan satu meja rias. Lalu, ada dua kamar lainnya yang hanya berukuran kecil. Yang satu Omega jadikan ruang kerja, jadi diisi oleh sebuah lemari file beserta sebuah meja kejar berukuran medium. Sementara yang satunya diisi sebuah sofa bed berwarna hitam-putih yang selalu ditutupi sprei yang rutin diganti pembantu harian kami. Ruang tamunya menyatu dengan dapur dan balkon. Ruang tamu diisi tivi, sofa dan ada sebuah meja makan di antara dapur dan ruang tamu. Balkon tidak terlalu memanjakan mata karena kondominium kami 'hanya' ada di lantai delapan. Masih kalah jauh jika dibandingkan melihat dari lantai 21, lantai tertinggi tower ini. Dari atas sama, semua pemandangan malam akan terlihat jelas. Apalagi pendar lampu jalanan yang terbias oleh cahaya. Luar biasa indah. Aku pernah ke sana satu-dua kali kalau sumpek.

Aku memasukkan kunci ke lubangnya lalu memutarnya dua kali sampai kenop bisa terbuka saat kutekan. Kulemparkan tasku ke sofa yang ada tepat di dekat pintu sementara tanganku menggapai stop kontak yang ada di sisi kiri pintu. Terang menyelimuti. Sejuknya udara membungkus tubuhku. Kami tidak punya kebiasaan menghidupkan AC saat tak ada siapapun di rumah, jadi, bisa dipastikan, Omega pasti sudah pulang. Aku melangkah menuju kamar. Kuputar kenop lalu kubuka pintu. Gelap. Setelah kuhidupkan lampu pun, hanya kesunyian yang menyahuti. Mungkin Omega sedang di ruang kerja. Biasanya, ia tak suka diganggu kalau sedang kerja. Kuambil baju ganti dan handuk, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Kuhidupkan shower dan kubiarkan air dingin membasahi seluruh tubuh dari rambut hingga tumit. Kugosokkan sabun dan shampo secara bergantian lalu kubilas sampai bersih. Setelah selesai, kututup rambutku dengan handuk sementara tubuhku kututup dengan handuk lain yang berbentuk kimono. Kakiku kulangkahkan keluar kamar. Handuk yang melilit rambutku kulepas sampai jatuh di bahu. Rambutku yang tidak terlalu panjang kubiarkan kering dengan tiupan hair dryer. Rambutku tidak sampai kering, masih agak lembap, saat hair dryer kucabut. Tanganku membuka tutup tube pelembap wajah dan mengoleskannya ke wajahku secara merata disusul olesan lip balm stroberi di bibir. Masih dengan tubuh yang hanya terbalut kimono dan rambut yang agak lembap, aku berjalan ke dapur. Menyeduhkan segelas kopi. Omega pasti kelelahan. Kopi bisa lumayan menenangkan untuknya dan membuatnya semakin fokus mengerjakan pekerjaannya. 

Aku baru saja mau mengantarkan kopiku ke ruang kerjanya saat aku mendengar bunyi kenop pintu ditekan disusul derap langkah mendekat. Tapi, entah kenapa, perasaanku mengatakan itu bukan derap langkah satu orang. Lebih. Aku menoleh dan terpaku di tempatku. Kakiku terkunci rapat pada lantai. Di depan mataku, Omega masih asyik memagut bibir wanita di depannya. Rambutnya wavy sepunggung yang dicat kecoklatan. Tubuhnya dibalut terusan selutut berwarna merah darah yang sensual dan ketat sehingga menunjukkan setiap senti tubuhnya yang seolah dipahat oleh salah satu pengukir terbaik dunia. Dada dan bokongnya tampak nyata namun tidak berlebihan. Terlihat sangat pas. Mirip artis di TV. Dari samping, aku bisa melihat alisnya yang sempurna, tulang hidungnya yang tinggi dan kulitnya yang eksotis. Belum melihat wajahnya secara keseluruhan saja, aku bisa tahu kalau dia sangat sempurna. Setidaknya, dia pasti jauuuh di atasku yang hanya serpihan tim-tam ini. 

Stockholm Syndrome (SS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang