T U J U H

8.6K 1K 18
                                    

Haiii!! Udah bab tujuh aja yaaa! Aku seneng bgt sama cerita ini idk why. Mungkin karna omega yg misterius dan kinda membingungkan. Aku sendiri nargetin cerita ini end max 10 part jadiiii bentar lg siap2 pisah sama omega dan phietaaa ya! Trus abis kelarin ceriita ini mungkiiin gak ada cerita baru duluu! Aku mau kelarin semua cerita aku yg ada di wattpad yg kuhiatus kan karna lepi rusak beratt!! Thankyou for your attention guys! Jangan lupa, abis baca vomment! Hehehe. Happy reading ^^

Pesawat yang ditumpangi karmila dan Reka untuk kembali ke Singapura baru saja lepas landas. Sekarang, aku sedang ada di mobil yang dikendarai Omega. Sejak tadi, dia diam saja. Dengan atmosfer yang ada, aku pun tak berani membuka percakapan. Hanya ada musik random yang mengalir dari radio dan samar-samar suara pedagang yang menjual aqua dan mizone.

(bekgron sound: ya qua qua mijon yang aus yang aus)

"Phieta," panggil Omega. Akhirnya setelah nyaris sejam yang hanya diisi keheningan.

"ya?" entah kenapa, degup jantungku jadi tak beraturan. Selama ini, omega memanggilku phieta dan itu tak jarang disusul kekerasan yang bertubi-tubi. Apa aku akan dianiaya di pintu keluar jalan tol ini?

"Aku tiba-tiba memikirkan omongan Reka semalam."

yang mana? "Yang mana?"

Jakunnya, samar-samar kulihat, naik turun. Lalu dia menyahut, "anak."

Anak? "anak?"

"Iya. Maksudku, kita setidaknya harus punya satu. Benar, kan?"

Aku gamang. Haruskah kusetujui kalimatnya barusan? Aku tidak yakin. Bagaimana kalau anak itu malah menjadi momok di antara kami? Bagaimana kalau kelak, amarah Omega yang meledak-ledak itu akan dicurahkan pada anak kami? Dan bagaimana jika anak itu kelak akan terganggu mentalnya karena memiliki kewajiban menyaksikan adegan kekerasan secara live di rumahnya sendiri? Bagaimana?

Mendengar diamku, akhirnya, Omega bertanya lagi, "atau.. Kamu enggak mau punya anak?"

"mau. Aku mau," jawabku cepat.

Aku memalingkan wajahku ke arah jalanan. Berusaha menghindari tatapan Omega yang sesekali dihunuskan padaku di antara kefokusannya menatap jalanan di depannya.

Tangannya membelai rambutku. "Nanti kita bahas di apartemen saja, ya? Mungkin kondisi sekarang kurang tepat untuk membahas hal serius."

••••••••

Entah kena angin dari ujung bumi sebelah mana, Omega benar-benar terlihat dan terasa berubah. Ia bahkan memintaku duduk di karpet yang ada di ruang tamu sementara ia menyeduhkan dua gelas earl grey untuk kami berdua.

Dua gelas earl grey itu datang tak lama kemudian. Dengan beberapa snack yang memang selalu kustok di kulkas.

"aku tau kamu takut," akunya.

Aku menunduk untuk menghindari tatapannya. Aku takut mati karena tatapannya itu.

"aku tau aku salah," akunya lagi. "selama ini, aku enggak mau jujur sama kamu."

Dan mengalirlah cerita dari bibir Omega. Tentang orang tuanya yang tidak akur, tentang keluarganya yang berantakan dan tentang ayahnya yang mengajarinya untuk menjadi kasar.

"mentalku rusak karena keluargaku," keluhnya sambil menghela napas. "aku gak bisa ngontrol amarahku. Semakin dekat aku dengan seseorang, semakin ingin kusakiti mereka. Karena, entah kenapa, aku merasa, mereka bertanggung jawab atas semua bagian masa laluku yang tidak mengenakkan."

Aku merasa ditampar. Berkali-kali. Bagaimana bisa aku memaku menjadi istrinya saat aku bahkan tidak tahu masa lalunya?

"Itu sebabnya, aku tidak mau orang tau hubungan kita. Itu sebabnya aku tidak mau go public. Semua karena keegoisanku. Aku tidak mau orang-orang tau borokku yang sebenarnya."

Aku mengangkat gelas earl grey. Menghirup aromanya sebentar dan berusaha mencari kekuatan dari sana lalu kembali menatap Omega. Pancaran matanya tampak redup. Ia seperti baru ditimpa beban ribuan ton.

"Tapi, aku udah buat kesepakatan dengan diriku sendiri, Phieta."

"A-apa?" tanyaku takut-takut.

"Aku mau berubah. Aku mau berobat ke psikiater. Aku enggak mau, anak kita kelak menjadi ringan tangan karena melihat potret orang tuanya. Aku mau, garis setan ini diputus."

Aku tersenyum. Ada rasa senang yang membuncah dan nyaris meluap dari dadaku.

"Aku mau kamu temani aku selama proses itu, ya, Phieta."

Aku mengangguk. Luar biasa antusias.

kalau hidup kami adalah sebuah buku. Maka, ini bukanlah sekedar menapaki "halaman selanjutnya". Kami, sedang menapaki, "bab selanjutnya"

ahahahaha aku nulis ini di hape mama. jadi aku gak tau jumlah huruf. dan kaget aja ternyata ini pendek! astaga maaf! bab selanjutnya sampai epilogue akan diupload minggu ini (ya minggu ini kan masih panjang ya guys hahaha) gak tau kapan pastinya tergantung pinjeman leptop dari my abang. thankyou!

and see you!

ask.fm/tanyakori

Stockholm Syndrome (SS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang