Bocah Jelaga

8.2K 593 80
                                    

B O C A H

J E L A G A



"Kalau bapaknya maling anaknya pasti maling juga!"

Rentetan nasihat, cacian, hingga hinaan tiada henti menilik ke dalam telinga kami. Rinto, suamiku, sudah menelan lebih banyak pil untuk meredakan hipertensi yang kian tersulut oleh mulut-mulut biadab para tetangga. Tapi sepertinya kali ini aku harus membawanya ke puskesmas terdekat. Suamiku sayang, kepalanya ditundukkan di antara lengan. Punggungnya yang melengkung naik-turun bernapas tidak teratur. Bisa cepat mati dia kalau seperti ini terus.

Keadaannya kali ini dipicu oleh cemoohan mertuaku—orang tuanya. Mana mungkin kalau orang tuaku? Mereka masih tahu malu, mengerti bahwa keadaan anaknyalah yang menjadi faktor terbesar perkara ini. Baru saja ibu mertuaku melempar pintu rumah kami dengan amat marah. Api emosi terpercik dari kepala dan menyulut emosi lain yang kemudian meledak dalam tindakannya.

Kuelus dadaku sendiri sebelum mengelus punggung suamiku. Damar telah kusembunyikan ke dalam bilik, kuminta dia untuk tidak keluar dan menutup telinga atas semua yang didengar. Ah anak itu, akar dari masalah ini.

Tiada tega aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Anakku itu, kemarin dia diantar oleh Pak Jauhar—yang kukenal sebagai salah satu guru yang mengajarnya—pulang sebelum waktu sekolah usai. Kala itu aku yang sedang berbelanja di penjaja sayur keliling bersama para tetangga seperti biasa. Didatangi diriku oleh Pak Jauhar, Damar sudah berpindah dari gandengan guru itu memeluk pinggangku. Wajahnya disembunyikan menghadap perutku, merasa ada yang salah, aku menyilakan Pak Jauhar untuk masuk ke dalam rumah. Agak berat langkahku berjalan menyeret karena anakku yang menempel, kugendong saja dia meski sedikit kerepotan oleh tubuh bongsornya. Belanjaan kutinggal begitu saja, semua tetangga yang tadinya mengerumuni tukang sayur seperti lebah yang mengerumuni ratu mulai berdengung bubar meninggalkan tempatnya seakan ada sesuatu yang lebih menarik daripada ratunya.

Samar kudengar bisik-bisik menusuk yang keluar dari mulut penuh bisa mereka. Namun siapa yang peduli, kubiarkan suara-suara penuh racun itu tertahan di luar pintu. Damar terus melekat pada tubuhku, kepalanya berganti bersembunyi di dadaku, tangannya melingkar erat hampir mencekik leherku. Terpaksa juga kubawa dia duduk di atas pangkuan.

"Damar mengambil uang temannya, Bu."

Tiada perasaan terkejut menyinggahi hati, seakan sudah kebal dengan berita seperti ini. Kurasai kulit dadaku basah karena air mata Damar yang merembes menembus baju yang kupakai. Dari sini, hanya rambut setengah berwarna merahnya yang terlihat. Wajahnya semakin merangsek penuh ketakutan. Bukannya rasa kesal dan marah, justru rasa iba yang memenuhi hatiku. Meluap-luap meminta segera ditumpahkan. Akibatnya air mataku ikut luruh bersamaan dengan kata maaf yang terucap dari bibirku.

"Maafkan anak saya, Pak."

Ketika Pak Jauhari sudah meninggalkan rumah, Damar melepas pelukannya. Wajahnya ketakutan, penuh dengan rasa sakit dan kecewa. Terkadang aku dibuat bingung dengan anak ini, bagaimana bisa bocah kecil yang seharusnya masih menghabiskan waktu dengan bermain sampai berjelaga mampu menampakkan emosi serumit itu.

Rinto belum pulang, masih sibuk melayani penumpang dari bandara. Ya, bandara menjadi lahan panennya sebagai sopir taksi. Lantas apa yang harus aku lakukan pada anak ini? Bukan kali ini saja dia melakukan tindakannya itu.

Damar sudah sering membuat kupingku dan Rinto merasa panas dan risih mendengar cemoohan para tetangga. Bahkan semenjak kemunculannya di tengah-tengah rumah tanggaku dan Rinto. Tidak, tidak, barangkali sebelum Damar hadir di antara kami, dia sudah sering mendapat perlakuan seperti ini, mungkin lebih parah.

Karbohidrat ○ Maret ○Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang