#10 - Wedding Day ( Just a Wedding )

6K 562 11
                                    

Just a Wedding

But...

What is The Wedding?

*-*-*-*-*-*-*-*

Suhu udara di Korea terus menurun, menandakan musim gugur akan berakhir dan akan datangnya musim dingin. Dinginnya udara semakin mendukung dan mendramatisir bekunya hati Jieun. Jieun menyadari kehidupannya berubah. Hidupnya bukan lagi seperti salju yang jatuh diatas padang rumput atau lapangan luas, yang tidak akan ada hambatannya untuk mendarat. Sekarang salju itu jatuh di atas trotoar jalanan, ada pepohonan yang menghambatnya, akhirnya salju itu tertahan di dedaunan, dan jika jatuh, salju itu akan terinjak oleh orang-orang yang lewat. Begitu mengenaskan. Salju yang bersih, putih dan berbentuk itu hancur, menjadi air dan mengalir tanpa arah.

Baru baginya memakai gaun terlewat mewah dan berhias seperti ini, rambutnya digulung keatas dan diberi pita putih, riasan wajah yang tipis namun seolah menjadi beban. Sarung tangan putih yang mencapai sikunya, sepatu putih polos itu seperti tak mampu menahan beban tubuhnya, Jieun takut jatuh. Ini bukan dirinya. Wajah kusam dicermin itu bukan dirinya, sedingin dan sedatar apapun Jieun, ia selalu tersenyum jika di depan cermin, untuk mensyukuri hidup ini.  Namun sekarang  Jieun tak tersenyum, jika ia tersenyum itu adalah sebuah kesalahan, sesungguhnya ia masih tak menerima ini semua. Sulit sekali melapangkan dada merelakan ia menikah dengan Oh Sehun, pria dengan sisi lain yang ia temukan semalam. Sampai bibinya masuk ke kamarnya dan tersenyum hangat, Jieun berfikir apakah jika ia ceritakan kejadian semalam bibinya akan membatalkan pernikahan ini?

"Jieun-ah kau sudah siap?"

Jieun diam, sesungguhnya ia ingin menjawab bahwa ia belum siap sampai kapanpun.

"Ayo, semua sudah menunggu."

Akhirnya, Jieun mengangguk.

Perjalanan menuju gereja begitu membuat jantungnya semakin berdetak, Jieun seperti ingin menemui ajalnya, ini begitu menakutkan. Hatinya seperti mengamuk untuk pergi, namun tubuhnya tidak bisa. Akhirnya yang ia lakukan hanya duduk diam disamping bibinya. Sementara yang mengemudi adalah Kyungsoo, sebagai wali Jieun. Jieun cukup sedih tentang itu, tak adakah seseorang yang berhubungan darah untuk menjadi walinya? Jawabannya tidak ada. Seandainya ayahnya masih hidup dan bersamanya, mungkin tidak akan semenyakitkan ini.

"Yeobboseyo? Diperjalanan. Apa? Sehun menghilang? Baik.. baik.. akan aku perlambat. Ya, aku mengerti. Kyungsoo-ya pelankan mobilnya, Jika di depan ada tempat untuk berhenti, berhenti sejenak."

"Ne."

Jieun mendengar semua pembicaraan bibinya ditelpon. Sekarang apa? Sehun menghilang? Itu merupakan berita baik untuk Jieun. Pergilah kau Oh Sehun, dan tak perlu kembali, agar pernikahan ini batal karna mempelai pria melarikan diri. Lucu. Tapi anehnya, kenapa ada rasa kesal juga dalam dirinya? Setidaknya Jieun menghargai tamu-tamu yang mungkin sudah berkumpul di gereja, bukankah kesepakatan sudah didapatkan? Hanya pernikahan kan? Apa karna pertengkaran semalam? Kalau Jieun juga egois ia sudah meninggalkan rumahnya dari semalam. Tidak peduli dengan Sehun, pernikahan atau bahkan bibinya.

Bibi Jieun menepuk punggung Jieun lembut. Mencoba memberi ketenangan.

"Semua akan baik-baik saja."

Setelah itu ponsel bibi Jieun kembali berdering. Yuri memanggil.

"Bi, kenapa lambat sekali?"

"Sehun menghilang. Kita harus memperlambat waktu. Kita akan berhenti di pelataran mall itu."

"Menghilang? Maksud bibi kabur?"

My Life With Dr. Oh [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang