3. Kolam Renang

4.4K 288 0
                                    

Memiliki nama dengan awalan huruf V membuat Vania berada di absen terakhir. Hal itu juga berpengaruh terhadap setiap kegiatan sekolahnya. Seperti saat ini, ketika hampir setelah dari teman kelasnya selesai untuk praktek renang, Vania masih harus menunggu giliran karena absennya yang berada di urutan paling akhir.

"Van, nanti tungguin ya." Vania mengangguk kepada Hana. Tadi Hana terlambat, perempuan itu datang ketika gilirannya sudah terlewat, sehingga Hana harus menunggu hingga absen terakhir selesai terlebih dahulu dan baru meminta gilirannya.

Setelah cukup lama menunggu, akhirnya giliran Vania datang juga. Vania segera masuk ke dalam kolam renang dan mempraktekkan apa yang telah di latih oleh gurunnya. Setelah selesai Vania menghampiri Hana yang masih menunggu giliran.

"Han, aku mandi dulu ya, nanti aku tunggu di kantin." Hana mengangguh dan mengacungkan jempolnya. Setelah itu Vania segera bergegas menuju toilet untuk membasuh dirinya.

Sekitar sepuluh menit, Vania telah selesai dengan kegiatannya di toilet dan Ia dapat melihat Hana masih antre untuk memakai toilet, sehingga Vania memilih untuk bergegas menuju kantin yang ada di dekat pintu masuk kolam renang untuk bersantai sejenak sembari menunggu Hana.

Vania menatap isi kantin yang penuh, Ia mencoba mencari meja kosong, beruntung ada satu meja yang belum di tempati dekat corner ice cream. Vania segera melangkahkan kakinya mendekati meja itu dan mendudukkan badannya disana, tidak lupa Vania mengambil es krim terlebih dahulu dan membayarnya.

Vania duduk menikmati ice creamnya sembari memainkan ponsel di tangannya, hingga sesaat kemudian terdengar suara dehaman yang membuat Vania mengangkat kepalanya.

"Masih kosong? Boleh gabung duduk sini?."

Vania terperangah menatap orang yang mengajaknya bicara. Ia bahkan tercekat dan tidak bisa mengeluarkan suaranya.

"Enggak ada kursi kosong. Boleh nggak?." Tanya orang itu membuyarkan lamunan Vania.

Vania segera berdeham dan mengangguk ragu. Kini jantungnya berdetak tidak karuan. Bahkan kini ia tidak berani mengangkat wajahnya untuk menatap orang itu.

"Kamu anak kelas sebelas kan?." Tanya orang itu.

Vania ingin menjawab tapi saat ini lidahnya terasa kelu hingga dia tak mampu berucap. Ia ingin menganggukkan kepala tapi seakan ada suatu benda yang menahan rahang bawahnya sehingga membuatnya kesulitan menganggukkan kepala. Sehingga Vania menganggukkan kepalanya dengan kaku. Vania juga belum berani menatap sepenuhnya ke arah oreng itu.

Bagaimana bisa Vania menatap orang di hadapannya ketika orang itu adalah seorang Azka Hermansyah.

Dari posisi Vania duduk Vania dapat melihat Azka tengah mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Pria itu mengeluarkan sebuah sapu tangan berwarna silver dan menyodorkannya kepada Vania.

Vania yang bingung pun secara reflek menatap Azka tanpa menerima sapu tangan yang dia berikan.

Melihat tingkah Vania, membuat Azka tersenyum dan seketika menyihir Vania. Vania benar-benar beku sekarang. Senyum Azka adalah tergolong senyum yang sangat langka. Dan bagaimana mungkin saat ini Vania mendapatkan senyum itu dengan mudah.

Vania semakin dibuat tidak bisa bergerak ketika Azka tiba-tiba menarik pergelangan tangan Vania dan mengelap cairan es krim yang meleleh di tangan Vania.

"Kenapa enggak dimakan? Sampai meleleh gini." Ucap Azka yang seketika membuat Vania tersadar dan segera menarik tangannya.

"Uhm.. maaf Kak."

Azka menyerahkan lagi sapu tangannya kepada Vania dan kini diterima baik oleh Vania. Vania segera membersihkan bekas-bekas lelehan es krim di tangannya dan membuang sisa es krim di tangannya.

"Uhmm... Ini sapu tangannya aku bawa dulu ya, Kak. Aku cuci dulu, terima kasih sebelumnya."

Azka tidak menjawab. Pria itu hanya menganggukkan kepalanya lalu mengedarkan pandangan di sekeliling kantin.

"Kok kamu sendiri? Enggak bareng teman?." Tanya Azka lagi yang membuat Vania harus bersusah payah mengatur detak jantungnya. Kehadiran Azka saja sudah berpengaruh sangat kuat terhadap detak jantungnya. Terlebih kini Azka mengajaknya bicara, tentu membuat jantung Vania semakin tidak karuan.

"A-ada kok, Kak. Lagi di toilet. Ka-kalau Kakak?."

Azka tidak langsung menjawab. Pria itu menatap jam yang ada di tangannya terlebih dahulu. "Belum pada datang kayaknya. Masih setengah jam lagi sih mulainya."

Vania hanya bisa menganggukkan keoalanya. Sungguh Ia masih tidak percaya bahwa rupanya anak-anak kelas dua belas juga memiliki jadwal renang yang sama. Padahal biasanya mereka akan terpisah hari. Tapi tentu saja yang paling membuat Vania tidak percaya adalah saat ini. Dimana Ia bisa duduk berdua dan berbicara bersama dengan Azka. Sungguh sesuatu yang sangat-sangat luar biasa.

"Oh iya, siapa namamu?." Tanya Azka sembari menatap tepat di manik mata Vania. Lagi-lagi Vania tersihir.

Vania berdeham mencoba mengatur dirinya. "Va-Vania kak."

Azka menganggukkan kepalanya. "Nama yang bagus."

Seseorang tolong pegang Vania, rasanya Vania ingin berteriak dan melompat-lompat karena kegirangan. Ia tidak salah dengar kan? Jika Azka mengatakan bahwa namanya bagus.

Rasanya Vania benar-benar ingin meledak. Ia terlampau bahagia.

Vania menarik nafas panjang berusaha mengontrol dirinya agar tetap santai. "Calm down Vania." Bisiknya pada diri sendiri.

"Terimakasih Kak."

Setelah itu tidak ada lagi percakapan di antara Vania dan Azka. Mereka sama-sama terdiam tidak memiliki topik. Azka tampak mengetuk-ketukkan tangannya di meja, mungkin bosan. Sedangkan Vania dilanda rasa gelisah. Antara ingin segera pergi atau menetap. Di satu sisi Vania merasa harus pergi karena berada terlalu lama di dekat Azka rupanya kurang baik bagi detak jantungnya. Namun di sisi lain, jika Vania pergi maka sama saja Vania menyia-nyiakan kesempatan untuk bersama dengan Azka lebih lama.

"Van-ni... Kak Azka?."

Sebuah suara mengejutkan Vania dan Azka, membuat dua orang itu segera menoleh ke sumber suara.

"Siapa?." Tanya Azka karena merasa tidak mengenali orang yang memanggil mereka.

"Oh.. Hana, Kak. Temannya Vania."

Hana menatap Vania seperti meminta penjelasan tentang bagaimana Azka bisa duduk bersamanya.

"Sudah mau pulang ya?."

Baik Vania maupun Hana tidak ada yang menjawab. Mereka malah saling tatap. Hana tidak tahu harus menjawab apa karena Hana tidak tahu secara pasti apa keinginan Vania. Di sisi lain Vania mengharapkan Hana berkata untuk pulang saja. Karena Vania tidak kuat untuk berlama-lama bersama Azka.

Tetapi karena kurangnya telepati antara dua sahabat itu, akhirnya Hana memilih untuk duduk terlebih dahulu karena berpikir bahwa Vania mungkin tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk duduk bersama Azka.

"Aku pesan minum dulu ya." Ucap Hana yang mau tidak mau disetujui Vania.

Sejak kedatangan Hana. Keadaan masih sama. Tidak ada percakapan antara mereka bertiga. Hingga akhirnya Vania memberanikan diri untuk bersuara dan mengajak Hana pulang.

"Oh mau pulang?." Tanya Azka dan Vania menganggukkan kepalanya.

"Ehmm.. sapu tangan Kak Azka aku bawa dulu ya, Kak. Nanti kalau sudah ku cuci, aku balikin ke Kak Azka."

Azka mengangguk. "Iya, bawa dulu saja."

"Terima kasih, Kak. Kita pamit dulu."

"Ya, hati-hati di jalan."

Baik Vania maupun Hana sama-sama mengangguk. Lalu mereka segera berjalan menuju parkiran karena Hana membawa motor dan akan mengantarkan Vania pulang.

Sesampainya di parkiran. Vania benar-benar heboh. Sejak tadi ia menahan dirinya dan kini akhirnya ia bisa mengekspresikan kebahagiaannya.

"Masih nggak percaya sama yang tadi.." ucap Vania senang, sedangkan Hana hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya yang satu ini. Hana turut bahagia melihatnya.

Keegoisan Cinta [DREAME]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang