SATU: The Life of Javier Pradikarsa

97.5K 4.7K 529
                                    

SEKARANG, ijinkan gue buat bertanya satu pertanyaan simpel pada kalian. Sebenarnya, esensi dari hubungan yang dijalani oleh dua orang cowok itu... apa?

Bagi gue, jawaban dari pertanyaan bodoh tersebut adalah nggak ada.

Sejak memutuskan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang gay enam tahun yang lalu, gue udah punya satu prinsip yang terpatri erat di dalam kepala gue. Bahwa pada dasarnya, hubungan di antara dua cowok itu nggak lebih dari sebuah omong kosong. Well, nggak seratus persen omong kosong sih sebenarnya. Lebih tepatnya, hubungan antara cowok sama cowok itu cuma mitos, sebab pada kenyataannya, nothing works when two boys end up in a relationship status.

Dua cowok yang berjanji buat saling bersatu dalam sebuah hubungan sesungguhnya hanya akan saling menyakiti satu sama lain. Mari kita sebut Ennis Del Mar dan Jack Twist dalam Brokeback Mountain yang akhirnya hanya saling menyakiti satu sama lain sebab hubungan mereka diketahui oleh sang istri. Atau Tong sama Mew dalam The Love of Siam—yang katanya spektakuler itu—yang pada akhirnya memiliki ending yang sama. Menurut pendapat gue, dua cowok itu diketemuin buat saling ngenakin, bukan buat saling jatuh cinta kemudian terpenjara dalam sebuah hubungan yang penuh lala lili dan drama menye-menye. Oke, kalian boleh anggap kalau gue adalah cowok paling bajingan di dunia. Gue nggak bakal marah, sebab pada kenyataannya, gue memang cowok paling bajingan di dunia.

Dalam kamus gue, gue nggak mengenal apa itu yang namanya cinta. Yang gue tahu, setiap hubungan yang gue jalani sama cowok-cowok imut yang gue kenal lewat flirting di pub, Grindr dan semacamnya cuma sekadar having fun.

Kita sama-sama nyari bahagia, nyari enak, lantas setelah semua tujuan itu tercapai, ya udah, nggak ada lagi alasan buat saling nyimpen kontak dan bermanja-manja ria lewat pesan-pesan agar koneksi tetap terjalin. Setelah permainan yang kami sepakati usai, maka usai pula perjanjian yang mengikat kami. Ibarat sebuah dermaga, kapal yang gue kemudikan cuma berhenti buat nurunin penumpang. Setelah semua muatan diturunkan, maka gue bakal meneruskan kembali perjalanan kapal gue tanpa harus berlama-lama singgah dan membuang waktu. Kecuali, jika kami dipertemukan lagi dalam kesempatan lain, itu akan jadi kasus lain.

Gue bukannya anti sama yang namanya hubungan dalam dunia gay, hanya saja, gue mencoba berpikir realistis. Memang hubungan cowok sama cowok itu life goal-nya apa? Kita nggak mungkin nikah sesama jenis bukan, sementara ketahuan mesra-mesraan di taman aja kita udah langsung digerebek SatPol PP atau FPI? Berpacaran sama cowok, juga nggak menjanjikan masa depan yang cerah bagi gue. Terlebih, nikahin cowok nggak bakal bikin gue jadi kepala rumah tangga sebab sampai kapanpun gue nggak bakal bisa ngebuntingin mahluk yang sama-sama punya penis kayak gue.

Adopsi anak? Gue sempet kepikiran, sih. Mungkin seru kali ya kalau gue ngadopsi anak kayak Ricky Martin sama pasangannya yang gue lupa namanya itu? Namun pada akhirnya, gue lebih mikirin bagaimana nasib anak yang gue adopsi nanti saat menyadari bahwa yang mereka miliki cuma Papa dan Papa, bukan Mama dan Papa. Dan bukankah itu akan berimbas pada kondisi psikologis mereka nantinya? Meskipun gue bukan ahli psikologi kayak Marcus—Kakak gue, gue bakal bisa dengan lantang bahwa jawaban dari pertanyaan itu adalah: ya, yes, alias na'am.

Jadi setelah segala alasan yang (mungkin) bagi kalian nggak masuk akal itu, beginilah adanya gue. Gue cuma seorang Javier Pradikarsa, cowok homo berusia duapuluh lima tahun, nyaris di D.O dari kampus paling bergengsi di Jakarta, bermasa depan suram, serta nggak percaya cinta. Secara fisik, gue nggak ganteng-ganteng amat sebenernya. Gue cuma duplikat gagal jadi yang kebetulan mirip kayak (kata temen gue, sih) Afgan Syahreza, minus kacamata, dan coba tambahkan badan (sedikit) atletis serta rambut undercut agak tebal dengan jambang-kumis serta poni acak-acakan yang seringkali menutupi mata. Gue jarang mikirin penampilan. Namun faktanya, justru fisik gue yang nggak seberapa inilah yang seringkali suka bikin cowok-cowok imut di sekeliling gue kelepek-kelepek. Banyak juga, sih cewek-cewek yang suka jelalatan kalau ngelihat gue, namun gue udah terlanjur males sama cewek, makanya apa yang meleka lakuin sama sekali nggak pernah gue tanggepin.

[MPREG#1] HAMILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang