Love 17: To Be Wise

Start from the beginning
                                    

            Gadis tersebut tersenyum manis. Rambutnya yang pirang jatuh dengan indah di atas pakaiannya yang menyerupai gaun tipis berleher rendah. Wajahnya putih cerah berbentuk hati. Sama indahnya dengan senyumannya. Melihat itu, Justin berjalan mendekat menarik kursi di depannya dan membalas dengan senyum miring.

            “Tampan seperti biasanya.” gadis itu terkikik. “Sejak dulu ras anak Lilith peminum darah selalu menjadi favoritku.”

            Justin hanya mengangkat alis sebagai jawaban. “Kau bawa yang kuminta, Assesa?”

            Assesa mendengus, kemudian dengan gerakan sungkan, ia mengeluarkan gulungan kertas yang diikat oleh segel dedaunan emas seperti mahkota pangeran romawi. “Aku bahkan tidak bisa mengintip sedikitpun,” Assesa berbisik mencela. “Yang mengirim tentu saja malaikat tingkat tinggi. Bukan begitu?”

            Dengan cepat Justin mengambilnya dari Assesa tanpa mempedulikan rengekan protes peri tersebut, kemudian ia melepas segelnya dan gulungan tersebut terbuka. Justin dapat melihatnya. Kata-kata didalamnya ditulis rapih dengan tinta emas terang. Ia dapat merasakan gigilan aneh setiap membaca kata demi kata yang ditulis di sana. Malaikat berdarah murni, vampire berdarah murni, hukum perjanjian, nama kedua orangtuanya... lalu— peperangan. Dia terus membaca, sampai matanya menatap kata-kata terakhir yang di tulis di dalam surat tersebut. Nama pengirimnya— yang menandatangani surat persetujuan tersebut.

            Lockhart.

            Justin menghembuskan nafas panjang perlahan-lahan. Melipat surat tersebut dan menyelipkannya di sakunya. Keringat dingin turun melintasi wajahnya yang semakin pucat— tampak begitu putus asa sehingga Assesa mencondongkan tubuh dengan iba dan menggenggam tangan Justin yang sedingin es. Kini cuaca hangat Canterbury seakan tidak berpengaruh pada tubuh vampirenya. Ia menggigil sedikit.

            Justin tidak dapat memikirkan apapun lagi tentang rencana kabur dengan Alyssa nanti sore. Rencana tersebut tenggelam dalam benaknya yang terus bertanya tanya. Dia memang orang tersebut— malaikat itu, pikiran Justin berbisik. Dia tidak mungkin masih hidup, dan ini semakin dekat dengan hari itu. Justin seakan dapat merasakan rasa perih menikam-nikam tenggorokannya yang kering. Aku tidak bisa bertahan selama itu, bisiknya lagi dalam hati. Kemudian Justin membuka matanya perlahan. Matanya yang coklat indah menatap mata hijau kekuningan cerah Assesa yang khawatir. Tetapi bukan Assesa yang berada di dalam pikirannya.

            Melainkan Alyssa, Alyssa— dan Alyssa.

***

Hawa di luar rumah cukup dingin, meskipun matahari bersinar cerah.

            Alyssa kembali merapatkan syal merahnya. Lalu mengeluarkan sobekan kertas yang diberikan Justin tadi pagi dan kembali menerawang ke sekeliling jalanan sembari menyipitan mata. Highate meliorn— Alyssa mendesah pasrah lagi dan menerawang sekitar. Petunjuk Justin benar-benar membuatnya bingung setengah mati. Sejak tadi Alyssa sudah berkeliling hampir satu jam untuk mencari tempat yang bernama Highate meliron atau perpustakaan umum tetapi hasilnya tetap sama saja, bahkan penduduk sekitar pun hanya mengangkat lengan atau memberi informasi yang sangat salah.

            Ia menghembuskan nafas dan melanjutkan jalan, sempat terlintas di benaknya— Oliver. Oliver mungkin bisa membantu, atau setidaknya menemaninya agar tidak sesendirian ini.

            Lalu benaknya berganti seperti rol film— memutarkan video astral pada benaknya ketika Oliver menciumnya dengan wajah putus asa, lalu menghilang— dengan cepat ia menggelengkan kepalanya. Itu pertanda, benaknya berkata. Oliver bisa ia masukan kedalam kategori bukan orang baik. Dan jelas sekali mereka tidak akan bertemu kembali.

The Half AngelWhere stories live. Discover now