[ HIATUS ] Semua orang pasti mengakui dirinya sebagai pemimpi. Nadine salah satunya. Semenjak nilainya yang semakin jatuh, hal itu membuat jalan Nadine semakin sulit untuk masuk ke ITB.
Nadine yang berubah menjadi ambisius, lagi-lagi harus...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Kata-kata Langit kemarin masih terngiang dalam ingatan Nadine.
"Ada kalanya lo itu harus belajar mengubah persepsi lo. Lo gak akan benar-benar kenal seseorang kalau lo cuma tahu dari perkataan orang-orang."
Tapi, kalau dipikir-pikir, apa yang dikatakan oleh anak-anak di SMA Pancasila itu justru benar adanya. Ngapain kita mesti nyari tahu lagi, kalau omongan orang lain udah jelas-jelas bener?
Langit—cowok yang terkenal bandel bahkan hampir tidak disukai oleh anak-anak seangkatan—hobinya selalu bikin ulah. Dari penampilannya aja udah kelihatan kalau dia bukan anak yang rajin juga baik. Dan itulah yang selalu terpatri dalam benak Nadine bahwa Langit bukan orang yang baik.
Contohnya sekarang. Pagi-pagi begini udah bikin ulah aja. Langit dengan asyiknya mengerjai Fany, si cewek pendek bin mungil di kelas 12 IPA 8, yang terus merengek meminta salah satu sepatunya dikembalikan dari ventilasi pintu kelas mereka.
"Lang! Lo apaan sih? Gak ada kerjaan, tahu gak?" rengek Fany sambil menarik lengan kemeja Langit. "Jahat banget, sih, lo. Itu sepatu gue satu-satunya, Lang."
"Makanya, Fan, jadi cewek itu jangan suka bikin gosip. Kena, deh, lo batunya," balas Langit yang masih tertawa jahil melirik sepatu Fany yang masih ada di atas ventilasi.
"Ih, anjir. Lo tuh emang nyebelin banget, sumpah." Fany akhirnya marah. Tangannya terus memukul lengan Langit. "Gue juga kayak gitu karena lo emang pada dasarnya nyebelin. Gak heran lo tuh gak punya temen."
Entah apa yang merasuki Langit. Cengiran jahil di wajah cowok itu seketika hilang. Bahkan, Langit pun segera menjinjitkan kakinya dan mengarahkan tangannya pada sepatu milik Fany di atas sana.
Sepatu hitam dengan salur putih itu tiba-tiba terhempas begitu saja ke lantai—membuat Fany mengerjapkan matanya kaget. Begitupula dengan beberapa orang yang berada di sekitarnya.
Seiringan dengan itu, bel masuk pun berbunyi—menghentikan tatapan penuh tanya baik dari Fany maupun anak-anak yang berada di depan kelas.
Tanpa membiarkan kata-kata terlontar dari mulutnya, Langit pun bergegas pergi menuju keheningan dimana bangkunya berada.
Nadine yang sedaritadi mengamati Langit dari jauh, buru-buru membuang pandangan ke arah ponselnya ketika Langit berjalan ke arah cewek itu.
"Lo lihat apa tadi?" tanya Langit sarat akan sebuah ancaman.
Nadine yang merasa kepergok melihat cowok bandel itu langsung berdalih. "Gak lihat apa-apa, kok," ujarnya, sembari menggerakkan jarinya di atas layar ponsel.
"Lo pikir gue bego?" sergah Langit lagi. "Lo pasti lihat sesuatu tadi di antara kejadian barusan."
Nadine menoleh ke arah Langit yang duduk di sebelahnya. "Mau gue lihat atau nggak, juga bukan urusan lo, kan?"
