Bagaimana Rerey tidak jatuh hati pada karakter itu, coba?

Kami berjalan-jalan sambil tertawa dan menenteng belanjaan-belanjaan kami yang bejibun. Ya, habis tertawa, kami akan menangis sambil mengais-ais tanah di depan satpam, karena uang makan kami sebulan kedepan habis total.

Sambil mengobrol tentang kejadian-kejadian aneh yang kami alami di kampus sehari-hari, kami menikmati makanan yang kami beli. Aku makan Bakmi GM, Eriska makan hot plate, Mila makan HokBen, dan Rerey makan chicken soup dari KFC. Sekarang ketahuan siapa yang jajannya paling kecil.

Aku sudah bisa merasakan mulutku basah karena rindu akan bakmi yang tidak lagi bisa kumakan sering-sering sejak aku divonis kena radang usus buntu. Sudah kubayangkan rasa hangat dari kuah dan lembutnya tekstur mie yang akan masuk ke mulutku.

"Jess, boleh jujur gak?" Rerey menaruh sendoknya dan menatapku serius.

Kulirik ke sisi kanan dan kiri meja kami. Eriska dan Mila saling pandang. Mereka melihat Rerey dengan pandangan ragu, namun Rerey mengangkat tangannya dan mengisyaratkan mereka untuk tenang dan percaya padanya. Tiba-tiba saja rasa kangen pada bakmie itu buyar begitu saja.

"Jess, lo... masih telponan sama Daniel?" tanya Rerey.

Aku mengangkat alisku. "Iya... kenapa?" tanyaku curiga.

"Sering?" sambar Mila.

Aku mengangguk pelan sambil menggigiti sumpitku. "Lumayan. Mungkin... hampir setiap hari?"

Rerey menghela napasnya berat, kemudian meraih tanganku yang berada di atas meja. Dia menatap mataku dalam-dalam.

"Najis lu, kayak apaan aja, sih!" Aku menepis tangannya. Selalu, aku paling muak bila jiwa sinetron Rerey sudah muncul. Dia memang selalu cocok dengan Mama.

"Jess, gue lagi serius!" bentaknya agak keras. "Ini demi lu, Jess," katanya sambil memandangku dengan iba.

Aku menghela napas, kemudian mengangguk dan menunggu Rerey berbicara."Go on," jawabku pasrah.

"Jess, kita gak bisa terus-terusan lihat lo kayak gini. We think that Daniel is already moved on. Dan udah saatnya lu move on juga. Bukan berarti langsung punya pacar lagi, tapi lu fokus ke hal lain—"

"Girls, siapa juga yang masih mikirin Daniel?" Aku memberi senyum pede pada mereka semua, berharap rasa kuatir mereka yang berlebihan itu segera berkurang.

Mereka bertiga saling pandang dengan sedih.

"Kalian gak percaya?" tanyaku.

Mereka bertiga kemudian kembali memusatkan pandangan padaku, dantersenyum kepadaku. "Kita sayang kok sama elo, Jess. Kita selalu ada buat lo!" kata Eriska.

Dengan cerah, aku menebarkan senyum pada mereka bertiga. "Makasih ya, kalian."

Mereka bertiga ikutan tersenyum, dan kami kembali sibuk dengan obrolan-obrolan absurd kami. Tanpa rasa curiga, mereka sibuk bicara sana-sini soal hal-hal absurd seperti biasanya. Tapi mereka sama sekali tak tahu, bahwa mereka telah kubohongi.

Apa respon kalian kalau tahu bahwa gue masih sangat menikmati hubungan telepon-teleponan ini... dan berharap semuanya bisa kembali seperti dulu?

Bunyi notifikasi terdengar dari ponselku, memecahku dari gelembung lamunan. Di bawah meja, aku melirik notifikasi dan mendapati sebuah LINE dari Daniel.

Hayo, lagi jalan-jalan ya? Inget duit jajan bulanan, woy! xD

Aku menghela napas dan tersenyum kecil sambil mengetik balasannya.

Breakeven: A Sad Opening StoryWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu