Prologue

27.1K 1.1K 264
                                    

Banyak cerita di dunia ini yang diawali dengan manis.

Seorang cewek berseragam abu-abu berangkat ke sekolah diiringi tiupan angin dan suasana hati yang berbunga-bunga, atau seorang cewek membongkar barangnya sehabis pindah dari tempat yang lama dan berusaha membangkitkan semangat baru, atau seseorang yang sedang dalam proses resepsi dan sedang membayangkan masa depan indah sambil memandang sepasang mata calon istrinya yang berjalan perlahan kealtar.

Ada juga awal cerita yang pahit, seperti contohnya...

"Kita putus."

Yak, luar biasa.

Kalimat itu meluncur dengan apik dari mulutnya setelah beberapa jam mengobrol kaku dan canggung. Aku pikir dia hanya sedang sakit atau sedang banyak pikiran. Ternyata dia sudah merancangkan sebuah rencana putus.

Sakit? Iya.

"Kita... putus?" Aku mencoba mengumpulkan oksigen di sekitarku untuk tidak berteriak HAH? PUTUS? YAKIN ENTE?!

Ia mengangguk lemah. "Ada yang udah beda dari kita. Banyak. Banyak banget. Kamu beda, aku beda, kita beda. Aku sayang sama kamu... tapi perbedaan ini bikin aku pusing. Maaf."

Dia menatapku yang kaku dan tegang dengan pandangan bersalah yang nampak seperti anak kucing. Aku membalasnya dengan dahi berkerut. Kupandang wajahnya, sembari tanganku meremas tisu sampai mampus.

Kenapa? Beda apanya? Apa gue udah berubah jadi megalodon atau jadi ultraman? Apa yang beda?!

Aku tahu betul ia bisa melihat diriku yang shock dan pucat pasi. Apa-apaan semua ini? Setelah semua yang kami lalui bersama, dalam keadaan yang sepengetahuanku sangat baik-baik saja, tiba-tiba dengan nonsensenya ia meminta putus begitu saja. Masa bodo dengan betapa rapuhnya aku di depan matanya saat ini.

Tiba-tiba saja aku melihat dengan ekor mataku bahwa dengan perlahan, tangannya terulur, ingin menggengam tanganku. Entah apa yang merasukiku sampai bergerak secepat Flash, aku langsung menepisnya dan berlari dari tempatku duduk.

"Jessica!" serunya.

Aku tidak tahu pasti yang terjadi di belakang sana. Ia berbicara cukup lama dengan seseorang sampai suaranya hilang dari pendengaranku. Kupikir dia sudah jauh. Tanpa kuduga, dia sudah ada di sisiku dan mencekal tanganku.

Aku menoleh padanya dengan mata yang basah. Dia mengendurkan genggamannya pada pergelanganku dan menatapku dalam-dalam. Jelas dari manik matanya bahwa ia kaget, lemas melihat air mataku yang sangat pathetic. 

Mungkinkah dia menyesal? Mungkinkah dia ingin menarik kata-katanya? Atau dia ingin mengucapkan bahwa aku akan baik-baik saja tanpanya? Ataukah...

"Aku gak bawa duit. Bisa bayarin billnya gak?"

Kampret.

Aku mendengus dan membuang muka. Dasar sialan.

Namun anehnya, dengan segelintir rasa kasihan, aku mengambil dompet dan mengeluarkan uang limapuluh ribu dan menyerahkannya padanya. Dengan bibir manyun, kujejalkan uang itu ke dadanya, dan langsung kubuang mukaku jauh-jauh. SAKIT, WOY!

"Makasih, ya. Lain kali aku ganti. Maafin aku." Dia pergi begitu saja setelah berucap lirih.

Sosok Daniel Adiwijaya perlahan menghilang dari pandanganku. Aku menghela napas sambil menunggu taksi di pinggir jalan. Haah... 

Secepat itu sebuah hubungan yang kupikir akan berakhir apik di atas pelaminan. Secepat kita putus-lah sesuatu yang mengandung kisah-kisah manis dan puluhan telepon di tengah malam, kandas ditelan bumi. Oke, aku akui kalau memang agak bodoh untuk berpikir seperti itu pada sebuah hubungan yang dimulai terlalu dini—kelas 3 SMA.

Breakeven: A Sad Opening StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang