Tidak Baik-Baik Saja

7.3K 600 33
                                    

Terhitung sejak telepon-telepon 5 menit yang canggung itu, Daniel jadi lebih sering mengirimiku SMS. Meng-greet duluan, menelepon sambil menirukan suara robot atau suara bencong kejepit bajaj. Terkadang ia sungguhan membuatku tertawa.

"Haluuu...."

Aku tergelak sambil menutup mulutmu. "Haluuu..." balasku.

"Lagi apaaa?" tanya Daniel, masih dengan nada yang sama.

"Lagi makan. Sama Rerey dan yang lain!" jawabku santai. "Abis futsal?"

"Iya nih, sama anak-anak yang lain. Alfian juga barusan ikut. Dia bilang kabar Almira baik."

"Oh, syukur deh! Kita mah tinggal tunggu undangan mereka aja!"

Daniel tertawa di ujung telepon sana. Jenis tawa yang membuat aku semakin merindukannya. "Iya, nanti bisa kita recokin pernikahan mereka."

"Lo pasti yang paling banyak makan!"

"Woy, ngaca!"

Aku tertawa terbahak-bahak. "Iya, nanti semua gue yang makan. Lo cemilin kerupuk aja ampe radang!" candaku.

Sebuah suara terdengar dari speaker ponsel Daniel. "Eh, Jess, sambung nanti lagi, ya!"

"Oke! Dadah alay!"

"Lu alay!"

Pip.

Semua nampak baik-baik saja, seperti sebuah putus baik-baik dan bersahabat setelahnya. Seperti sebuah hubungan becanda yang nampaknya lebih nyaman dengan pertemanan tanpa ikatan. Tapi tidak seperti itu yang kurasakan.

Kadang aku harus menahan tangis saat ditelepon Daniel. Aku harus menahan kegembiraan yang kurasakan karena aku tahu saat ini dia bukan siapa-siapa lagi selain temanku.

Aku baru saja pulang dari kuliah. Daniel meneleponku saat aku ada di jalan. Kami menelepon sepanjang taksi berjalan dari kampusku ke rumah. Diana lagi-lagi ngalor ngidul dengan temannya. Kini dia sedang bercokol di rumah temannya yang punya anak berumur 3 tahun, yang konon kata Diana, sudah menyukai One Direction.

Ok masa bodo Diana, masa bodo dengan semua fangirling lu.

Badanku rasanya lelah setengah mati. Aku melempar tasku ke kasur, kemudian badanku. Aku menyelonjorkan tubuh sambil menikmati AC.

Baru saja aku santai, intro dari lagu Rather Be menggema di kamarku. Buru-buru aku merogoh tasku dan meraih HPku. Daniel. Lagi?

"Halo, Mas! Bisa dibantu?" candaku.

"Iya nih, Mbak. Saya mau pesen... temen ngobrol, boleh?" Daniel membalas.

Aku tergelak. "Padahal baru tadi teleponnya dimatiin," celetukku. "How's your day going, bro?" sapaku.

"So far so good... mata kuliah hari ini gak banyak-banyak amat. Jadi gue pulang cepet!"

"Samaa!"

"Hahaha!"

Akhirnya obrolan mengalir seperti biasanya. Daniel bercerita tentang betapa beratnya kuliah Teknik, dan aku bercerita betapa serunya kuliah Komunikasi. Kami saling bertukar cerita soal keseharian kami.

"Apa kabar Tante Fey?" Daniel menanyakan kabar Mama.

"Au tuh, tambah rindu sama belahan jiwa. Baru pulang dari Solo bulan depan. Kabar Tante Era gimana?" tanyaku balik.

Daniel diam. Agak lama sampai dia menjawab, "baik, tapi lagi sering ngomel. Bahkan dia ngediemin gue..."

"Why?"

Breakeven: A Sad Opening StoryDove le storie prendono vita. Scoprilo ora