Comfort Zone

2.5K 252 7
                                    

Aku sudah nyaman merasakan bunyi dengkuran halus Diana di tengah malam. Aku juga sudah nyaman berangkat ke kampus dengan diantar oleh Diana yang terkadang membelikanku makanan di tengah jalan.

Tapi apapun yang membuatku nyaman, sekarang aku harus melepaskannya.

"Lo yakin mau balik?"

"Lo mau gue dipecat terus dideportasi?"

"Mending gitu, biar gue ada yang anter-jemput."

"Najis!" celetuk Diana. "Gue kuliah di Australia jauh-jauh bukan cuman pengen jadi supir pribadi non Jessica Aurelia, deh!"

Diana hari ini nampak elegan dengan parka coklat tuanya yang melapisi short dress ketatnya, serta kaki jenjangnya ditutupi boots kesukaannya yang ketinggalan di rumah Om Reynold. Koper Diana lebih penuh dibanding saat ia datang. Semua barang dari sahabat-sahabatnya memenuhi tasnya. Disukai semua orang, itulah Diana yang aku kenal dan selalu aku banggakan.

Panggilan untuk Diana sudah menggema di seluruh ruangan. Dan dengan pelukan yang erat, aku melepaskan kakak sepupu menyebalkan itu menaiki pesawatnya menuju Australia.

Kemudian aku kembali sendiri dengan taksi. Mobil Diana sudah kembali ke apartemen temannya. Aku yang belum belajar menyetir ini membuat Diana berdecak menyesal. "Padahal mobilnya bisa lu pake, kan?" katanya tengah malam tadi sambil packing.

Di dalam taksi, aku menyadari sesuatu yang cukup menarik : Tuhan sedang mengambil banyak comfort zone yang kumiliki akhir-akhir ini. Daniel, Diana, bahkan kekerasan hatiku yang selalu merasa bahwa hanya aku yang mengerti rasa sakitku sendiri.

Sakit berarti sudah dewasa.

Mungkin masa-masa kuliah inilah masa sebenarnya dari pembentukan jati diriku sebelum mendatangi dunia yang sebenarnya.

Ponselku bergetar di sakuku. Cepat-cepat kuangkat, dan senyumku ikutan terangkat melihat caller ID di layarku.

"Halo, anak alay!"

"Sssstt! Kalo kangen gak usah malu begitu!"

"Kutu kupret!"

Dan aku pun kembali lagi dalam pembicaraanku dengan Daniel.

***

Hari ini, aku, Rerey, Eriska dan Mila makan di foodcourt PIM. Barusan kami habis menonton Cinderella live action. Semua ini usulan Rerey, si pecinta Cinderella sejak kecil. Bagiku, filmnya lumayan seru, meski hanya punya perbedaan kecil dengan cerita aslinya. Bagi Rerey, apapun bentuknya, film ini selalu mengingatkannya pada masa lalunya dan Cinderella.

Rerey bilang, waktu masih kecil ia sangat terinspirasi dengan Cinderella. Dulu, keadaan keluarganya bisa dibilang tidak terlalu baik karena masalah keuangan yang melanda keluarga mereka, ditambah PHK yang diterima ayahnya. Rerey kecil jadi sangat terbatas dalam hal sarana dan penghidupan, jadi berbeda dan minder dibanding anak-anak lainnya.

Sampai suatu hari, Cinderella muncul di televisi liburan pagi.

Rerey kecil terpana melihat Cinderella yang bisa hidup ceria dalam kesusahan. Bukannya ia sama sekali tidak sedih atau mati rasa, tapi ia mencoba menjadikan setiap derita sebagai lantai dansa, hingga akhirnya takdir berpihak padanya dalam semalam, dan ia berubah menjadi seorang putri kerajaan yang begitu bahagia.

Tidak sampai di situ saja. Rerey kecil mulai berubah keadaan menjadi berada, bahkan lebih dari cukup, sejak sang ayah sukses dalam bisnis nekad sekaligus coba-coba itu. Kemudian muncul lagi Cinderella 2, di mana Cinderella harus berusaha menjadi putri yang sempurna dan prosesnya tak semudah yang ia pikirkan. Sama seperti Rerey yang mulai hidup menjadi anak orang kaya yang tidak bisa lagi hidup bebas berteman dengan anak-anak kampung belakang rumahnya dulu.

Breakeven: A Sad Opening StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang